Januari, Hujan dan Sejarah yang Berulang
Oleh Dikdik Sadikin
 "Banjir Jakarta di Bulan Januari setiap tahun dirayakan dengan meme dan status media sosial. Sementara, sungai terus dipersempit, tanah dikavling, dan tata kota dijalankan dengan logika bisnis ketimbang ekologi. "
HUJAN di bulan Januari bukanlah kejutan. Sejak zaman kolonial, catatan cuaca menunjukkan pola yang sama: angin muson barat
membawa gumpalan awan dari Samudera Hindia, menggiringnya ke Jakarta, lalu mencurahkannya dalam limpahan air yang tak jarang berubah menjadi malapetaka. Seperti sebuah prolog yang tak pernah berubah, setiap tahun hujan turun, dan banjir kembali datang. Seperti sebuah kutukan, atau mungkin sekadar pengulangan kesalahan yang enggan diperbaiki.
Tahun 2020, misalnya, Jakarta tenggelam dalam curah hujan tertinggi dalam 24 tahun terakhir: 377 mm dalam sehari. Bandingkan dengan Tokyo yang rata-rata menerima 160 mm dalam badai besar. Namun Tokyo tidak tenggelam. Kota itu belajar dari sejarahnya. Setelah banjir dahsyat pada 1991, Jepang membangun G-Cans, sistem kanal bawah tanah sepanjang 6,3 km dengan silinder raksasa yang bisa menampung 12,5 juta meter kubik air. Jakarta? Masih sibuk dengan retorika, menyalahkan hujan sebagai biang keladi bencana, seakan air selalu harus dipersalahkan karena mengalir ke tempat yang rendah.
"Kita tidak bisa menyalahkan alam. Kota yang cerdas adalah kota yang beradaptasi dengan lingkungan," kata Henk Ovink, Utusan Khusus untuk Urusan Air Internasional Negeri Belanda sejak 2015. Rotterdam misalnya, memiliki water square, taman dengan cekungan yang di musim kemarau menjadi ruang publik, dan saat hujan berubah menjadi kolam penampungan.Â
Bangkok menerapkan Chulalongkorn Centenary Park, taman miring yang mengalirkan air ke dalam reservoir bawah tanah. Tapi Jakarta? Banjir masih dirayakan dengan meme dan status media sosial. Sementara sungai terus dipersempit, tanah dikavling, dan tata kota dijalankan dengan logika bisnis ketimbang ekologi.
Dulu, Batavia pun pernah tenggelam. Tahun 1621, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun kanal untuk melindungi kota dari luapan Sungai Ciliwung. Namun di bawah langit yang sama, empat abad kemudian, kanal-kanal itu tersumbat sampah plastik, sungai dipagari tembok beton, dan pompa air sering kali rusak saat dibutuhkan. Teknologi, yang seharusnya menjadi penyelamat, justru terbentur pada politik dan birokrasi.
"Penyedotan air tanah tanpa kendali membuat kota ini amblas hingga 25 cm per tahun di beberapa titik, lebih cepat dari kota mana pun di dunia. Jika tidak ada perubahan drastis, pada 2050, Jakarta akan kehilangan sebagian besar wilayahnya ke laut."
"Krisis iklim memperburuk situasi. Tapi yang lebih berbahaya adalah ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi dampaknya," ujar Greta Thunberg, aktivis lingkungan dari Swedia. Angka-angka itu tidak berdusta. Jakarta kehilangan 40% luas daerah resapan airnya dalam 20 tahun terakhir. Penyedotan air tanah tanpa kendali membuat kota ini amblas hingga 25 cm per tahun di beberapa titik, lebih cepat dari kota mana pun di dunia. Jika tidak ada perubahan drastis, pada 2050, Jakarta akan kehilangan sebagian besar wilayahnya ke laut.
Hujan Januari adalah cermin yang memantulkan wajah kita yang sebenarnya. Ia menunjukkan betapa kita seringkali lalai. Tapi hujan juga membawa harapan. Ia membersihkan, menyegarkan, dan memberi kesempatan untuk memulai lagi. Bukankah sejarah selalu memberi kita kesempatan kedua? Mungkin, suatu hari nanti, Jakarta akan belajar. Mungkin, suatu hari nanti, kita akan bisa menghadapi hujan Januari dengan lebih baik. Â
Bukankah kota-kota lain di dunia sudah membuktikan bahwa air bukan musuh, melainkan bagian dari ekosistem yang harus dijinakkan dengan kebijakan dan teknologi.Â
"Jika kita terus menunda solusi, maka kita hanya sedang menyusun ulang masalah untuk generasi mendatang," ujar Christiana Figueres, arsitek utama Perjanjian Paris tentang iklim. Masalahnya, apakah Jakarta akan belajar dari hujan Januari kali ini? Atau hanya menunggu Februari, ketika air surut dan ingatan kembali mengering?