Aku berjalan di bawah hujan tipis malam itu, menuju rumah seorang sahabat lama, Liem Kian Hok, yang setiap tahun selalu mengundangku untuk menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek di rumahnya.Â
Hujan di malam Imlek seperti ini bukanlah hal yang aneh, kata Hok suatu kali. Bahkan, ia percaya bahwa hujan membawa berkah---membersihkan udara dan menyegarkan bumi untuk menyambut tahun yang baru. Jalanan penuh warna: lampion merah bergelantungan di sepanjang gang, gemerlap lilin yang berkelip-kelip di depan altar kecil, dan aroma dupa bercampur wangi jeruk mandarin yang tersusun rapi di keranjang bambu. Tahun 2025 ini adalah Tahun Naga Kayu, kata Hok dengan bangga ketika kami berbincang beberapa hari lalu.
Bagi Hok, naga bukan hanya simbol kekuatan, tapi juga lambang keberanian untuk berharap, meski dunia tengah bergelut dengan kekacauan: perang yang tak kunjung padam di berbagai belahan bumi, inflasi yang memukul kantong orang kecil, hingga perubahan iklim yang tak henti-henti memperingatkan kita. Tapi di tengah segala itu, di rumah Hok, ada sesuatu yang lain---kehangatan, harapan, dan rasa persaudaraan yang memancar dari setiap sudut ruangan.
Aku, seorang Muslim, tidak merasa asing di sini. Sejak kecil, aku tumbuh di lingkungan yang beragam. Keluargaku mengajarkanku untuk menghormati perbedaan. Ketika aku tiba di rumah Hok, dia menyambutku dengan senyum lebar, mengenakan changshan merah dengan bordir naga emas di dadanya. "Aku sudah siapkan onde-onde favoritmu," katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum, merasa diterima seperti bagian dari keluarganya.
Meja panjang di ruang makan penuh dengan hidangan khas Imlek: kue keranjang yang lengket dan manis, lumpia goreng yang renyah, ikan kukus yang melambangkan kelimpahan, dan mi panjang umur yang katanya tak boleh dipotong agar rezeki tak terputus. Hok bercerita bahwa tradisi makan bersama ini adalah doa yang tersirat---doa agar keberuntungan dan kebahagiaan dapat dinikmati bersama, bukan sendiri-sendiri, Hok mengajakku ke ruang altar. Dia mempersembahkan dupa sambil membungkukkan badan tiga kali. Aku berdiri di belakangnya, menyaksikan dengan khidmat. Hok tahu aku tidak akan menyalakan dupa, tapi dia menghargai kehadiranku. "Kehadiranmu saja sudah berarti," katanya. Aku mengangguk. Dalam hening, aku berdoa dengan caraku sendiri, memohon keberkahan untuk Hok dan keluarganya.
Setelah itu, kami berbincang panjang. Hok bercerita tentang anak-anaknya yang sekarang tinggal di luar negeri, tentang bagaimana mereka tetap menjaga tradisi meski hidup di negeri orang. Aku berbagi cerita tentang Ramadan yang juga akan tiba sebentar lagi. Percakapan kami mengalir tanpa sekat, seolah perbedaan adalah jembatan, bukan tembok.
Saat malam semakin larut, suara petasan memecah langit. Anak-anak berlari ke halaman, tertawa riang sambil menyalakan kembang api. Lampion-lampion mulai diterbangkan, membawa harapan ke langit malam. Aku menatap ke atas, mengikuti lampion yang perlahan menghilang. Dalam hatiku, aku merasa hangat---bukan hanya karena perayaan ini, tapi juga karena persahabatan yang mengajarkan bahwa dunia yang beragam ini bisa menjadi indah jika kita mau saling menghormati.
Ketika aku pamit, Hok menjejalkan sekantong jeruk mandarin dan angpau ke tanganku. "Bukan jumlahnya yang penting, tapi maknanya," katanya sambil tersenyum. Aku menerimanya dengan hati penuh syukur.
Di perjalanan pulang, hujan tipis masih menemani langkahku. Aroma tanah basah bercampur dengan sisa-sisa kembang api yang terbakar di udara, mengingatkanku pada kesederhanaan dan keindahan malam ini. Aku berpikir tentang betapa istimewanya malam ini. Imlek bukan sekadar perayaan, tapi juga pengingat akan pentingnya kebersamaan. Dalam dunia yang kerap terpecah belah oleh prasangka, mungkin kita perlu belajar dari filosofi naga: kuat, tapi juga bijaksana.