Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dari Kursi Kayu ke Barber Lounge: Nasib Tukang Cukur Tradisional

27 Januari 2025   12:25 Diperbarui: 27 Januari 2025   13:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang cukur tradisional dan barbershop modern  (Ilustrasi: DALL-E, Image Creator, dan Photoshop).

Ada sebuah joke terkenal: di negeri ini, siapa yang berani memegang kepala presiden? Jawabannya: tukang cukur!

Tukang cukur tradisional yang sering mangkal di bawah pohon juga punya sebutan lucu sebagai “DPR,” singkatan dari “Di bawah Pohon Rindang.” Dengan kursi lipat, cermin kecil tergantung di batang pohon, dan alat-alat cukur sederhana, mereka melayani pelanggan di bawah pohon besar di pinggir jalan.  

Namun, di balik anekdot-anekdot lucu ini, dunia cukur rambut sedang berubah. Di sudut-sudut kota, barbershop modern berkembang seperti jamur di musim hujan, menawarkan lebih dari sekadar potongan rambut. Di dalamnya ada musik indie, kopi hitam artisan, dan suasana Instagrammable yang memikat generasi milenial dan Gen Z. Di Bogor, tempat penulis tinggal, kota hujan yang selalu menyimpan cerita, barbershop menjadi bagian dari lanskap urban baru—menjadi tempat bukan sekadar untuk mencukur rambut, tetapi juga merayakan gaya hidup. 

Dunia cukur rambut di Indonesia kini menjadi cermin, bukan hanya untuk gaya rambut tetapi juga perubahan sosial, budaya, dan bahkan ekonomi. Di sinilah cerita kita bermula—dari kursi kayu sederhana hingga sofa kulit mahal, dari tukang cukur tradisional hingga barber yang tampil bak selebritas. 

Jean-Paul Sartre pernah berkata, "Man is nothing else but what he makes of himself." Barbershop adalah representasi manusia modern yang ingin "membentuk dirinya"—bukan hanya dengan potongan rambut, tetapi dengan pengalaman yang menyertainya. Di dalam ruangan kecil yang dihiasi cermin besar, kursi kulit retro, dan lampu redup, seseorang tidak hanya merapikan rambutnya tetapi juga menciptakan identitasnya.

Tukang cukur tradisional di pedesaan (Sumber: DALL-E).
Tukang cukur tradisional di pedesaan (Sumber: DALL-E).

Tukang Cukur: Tradisi dan Geografi

Berbicara tentang tukang cukur di Indonesia, kita tidak bisa lepas dari asal daerah mereka. Profesi ini memiliki spesifikasi unik yang terkait erat dengan wilayah asal mereka. Tukang cukur tradisional, misalnya, sebagian besar berasal dari Garut, Jawa Barat. Mereka dikenal dengan sebutan "Asgar" atau singkatan dari "Asli Garut." Dengan keahlian turun-temurun, para tukang cukur Asgar sering kali merantau ke berbagai daerah, membawa tradisi dan keterampilan khas mereka.

Tidak hanya Garut, Madura juga menjadi daerah asal tukang cukur yang dikenal ulet. Tukang cukur Madura memiliki ciri khas pelayanan yang cepat, efisien, dan cenderung murah, menjadikan mereka pilihan favorit di berbagai kota besar. Seperti para perantau Asgar, mereka membangun reputasi melalui keahlian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Fenomena spesifikasi profesi berdasarkan daerah asal tidak hanya berlaku untuk tukang cukur. Di Jawa Barat, setiap daerah memiliki keahlian unik yang menjadi identitas masyarakatnya ketika merantau. Sebut saja, orang Cianjur yang terkenal sebagai penjual bubur ayam. Dengan tagline "Bubur Ayam Asli Cianjur," mereka meramaikan sudut-sudut jalanan Jakarta hingga pelosok daerah lain di Indonesia. Sementara itu, orang Sumedang identik dengan tahu Sumedang, dan masyarakat Tasikmalaya kerap diasosiasikan dengan perdagangan kerajinan tangan seperti payung geulis dan anyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun