Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

UMKM Indonesia: Migrasi dari Pasar Tradisional ke Platform Digital

22 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 22 Januari 2025   12:36 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Ilustrasi: DALL-E)

Dalam satu dekade terakhir, pelaku UMKM yang dulu berkubang dalam mekanisme pasar konvensional kini bermigrasi ke pasar daring. Data McKinsey mencatat bahwa pada 2023, kontribusi e-commerce terhadap PDB Indonesia mencapai lebih dari 20 persen, setara dengan lebih dari USD 77 miliar. Di satu sisi, ini adalah angka yang membanggakan. Namun, di sisi lain, angka ini juga mengaburkan kenyataan bahwa sebagian besar keuntungan masih terkonsentrasi pada segelintir platform besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada.

Maka, pertanyaan pun hadir: apakah revolusi digital adalah jalan menuju kemerdekaan ekonomi, atau sekadar jaring laba bagi segelintir raksasa? Hal ini menjadi gema dalam benak saya ketika menyaksikan UMKM mulai memasarkan barangnya lewat gawai, dari kios-kios pasar menjadi tayangan di layar ponsel. Klik di gawai kita kemudian menjadi mata uang baru. Tapi, seperti yang pernah diingatkan Walter Benjamin, kemajuan teknis tidak berarti selalu sejalan dengan kemajuan manusia.

Teknologi memang memangkas jarak geografis. Ia juga membuka akses ke pasar global, dan memberi alat bagi siapa saja untuk menjadi bagian dari ekonomi global. Di Vietnam, misalnya, lebih dari 50 persen UMKM yang mengadopsi e-commerce melaporkan peningkatan pendapatan hingga dua kali lipat dalam dua tahun terakhir. Namun, seperti dua sisi mata uang, di balik kemudahan itu terdapat tantangan yang tak kecil.

(Sumber: DALL-E)
(Sumber: DALL-E)

Dalam platform digital, persaingan harga kemudian menjadi medan perang yang brutal. UMKM lokal yang baru merangkak di platform digital seringkali ditimpa tekanan harga super murah dari produk impor yang didukung oleh raksasa manufaktur luar negeri. Dalam konsteks ini, globalisasi tampak lebih sebagai "perburuan" daripada "kemitraan." Mereka yang kecil-kecil itu justru menjadi mangsa empuk bagi para raksasa yang dihadapinya. Di Indonesia, misalnya, produk impor dari China menguasai lebih dari 40 persen pasar e-commerce, menekan daya saing produk lokal yang memiliki biaya produksi lebih tinggi.

Juga ada permasalahan ketimpangan infrastruktur. Internet, misalnya. Bagi warga di kota-kota besar, koneksi internet cepat barangkali sesuatu hal yang biasa. Tetapi bagaimana kondisinya di pelosok-pelosok negeri? Di sana, sinyal internet sering kali lebih langka daripada air bersih. Tak pelak lagi, UMKM di daerah terpencil justru terpental dalam kompetisi pasar di era digitalisasi. Maklum, 45 persen wilayah Indonesia masih menghadapi kesulitan akses sinyal internet (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia,APJII, 2023). 

Kita juga tidak bisa melupakan persoalan literasi digital. Banyak pelaku UMKM yang masih gagap memanfaatkan teknologi secara optimal. Sebuah survei oleh Katadata Insight Center menunjukkan bahwa 40 persen UMKM digital di Indonesia mengalami kesulitan dalam memahami strategi pemasaran digital yang efektif. Di sini, ironi terasa begitu tajam: teknologi yang seharusnya mempermudah malah menjadi penghalang.

(Sumber Ilustrasi: DALL-E)
(Sumber Ilustrasi: DALL-E)

Namun, harapan tetap ada. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM telah meluncurkan berbagai program pelatihan literasi digital untuk meningkatkan pemahaman UMKM terhadap pemasaran daring, manajemen e-commerce, dan pengelolaan keuangan berbasis digital. Program seperti Digital Talent Scholarship dan UMKM Go Online telah dirancang untuk menjembatani kesenjangan literasi digital tersebut. Di samping itu, pemerintah terus memperkuat infrastruktur digital melalui pembangunan jaringan telekomunikasi, seperti Palapa Ring, yang bertujuan menyediakan akses internet hingga pelosok negeri.

Dalam upaya mendukung pendanaan, pemerintah juga menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah, sehingga UMKM memiliki akses lebih baik untuk mengembangkan usahanya, termasuk investasi di bidang teknologi. Selain itu, kampanye seperti Bangga Buatan Indonesia dirancang untuk mempromosikan produk-produk lokal, didukung oleh kemitraan dengan platform e-commerce besar seperti Tokopedia dan Shopee.

Masyarakat juga turut berperan melalui gerakan pendukung produk lokal. Kampanye seperti Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia dan Beli Kreatif Lokal menjadi cara efektif untuk mengangkat produk-produk UMKM di pasar domestik. Selain itu, komunitas digital dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sering kali mengadakan pelatihan pemasaran digital untuk membantu pelaku UMKM memaksimalkan potensi platform daring.

Kolaborasi antara UMKM dan influencer media sosial juga menjadi tren yang semakin populer. Dengan memanfaatkan platform seperti Instagram dan TikTok, UMKM dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Tidak hanya itu, fintech juga memberikan kontribusi besar dalam menyediakan solusi pembayaran digital seperti QRIS, yang telah diadopsi oleh jutaan pelaku usaha kecil.

Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tantangan seperti ketimpangan infrastruktur digital dan persaingan dengan produk impor masih menjadi PR bersama yang membutuhkan perhatian lebih. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta adalah kunci untuk memastikan bahwa ekonomi digital benar-benar inklusif dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun