HUJAN turun menggerus jalan setapak yang dilalui seorang laki-laki di sebuah desa kecil. Jauh dari hiruk-pikuk kota, Damar, anak laki-laki itu, adalah seorang bocah yang jauh dari segala kenyamanan yang biasa dinikmati oleh mereka yang tinggal di kota.
Ayahnya, seorang petani yang tidak pernah banyak bicara, selalu berkata, "Anak laki-laki tidak boleh menangis. Seperti tanah, harus kuat." Ibunya, sebaliknya, hanya tersenyum dan memeluknya ketika dunia terasa begitu berat untuk dipikul. Namun, pelukan itu seakan tak mampu menghapus beban yang perlahan menumpuk di hati Damar.
Sejak kecil, Damar merasa dirinya hidup dalam dua dunia yang terpisah: dunia yang penuh dengan harapan ayahnya akan menjadi petani sukses, dan dunia yang ingin ia lihat sendiri di luar sana. Jauh dari tanah yang mereka miliki.
Pada suatu pagi yang cerah, Damar mendapati dirinya berdiri di tengah ladang jagung yang hampir siap panen. Angin berbisik di antara daun-daun jagung yang berdiri tegak, seperti menanti sesuatu. Damar menatap tanah di bawah kakinya, seolah tanah itu bisa berbicara dan memberitahunya mengapa ia selalu merasa seperti orang asing di tanah yang seharusnya ia miliki.
"Apa yang kau cari di sini, Damar?" suara ayahnya tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Aku hanya... berpikir," jawab Damar perlahan, tak tahu apa yang ingin ia katakan sebenarnya.
Ayahnya mengangguk. "Tanah ini tidak butuh pemikiranmu, Damar. Tanah ini hanya butuh kerja keras. Seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Tanah ini memberi kita makan, memberi kita tempat tinggal. Jangan berpikir lebih jauh. Cukup lakukan yang harus dilakukan."
Damar mengiyakan. Namun, Damar merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam kata-kata ayahnya. Sebuah kekosongan yang tak bisa ia pahami, meski telah ia coba berkali-kali.
"Apakah ini yang kita tuju, Ayah? Apa kita hanya hidup untuk bertani sepanjang hidup kita?" Damar akhirnya bertanya, suaranya menggetarkan udara pagi.
Ayahnya tercenung sejenak. Matanya tajam menatap Damar. "Hidup bukan untuk mencari pertanyaan, Damar,” kata ayahnya tegas. “Hidup adalah untuk mencari jawaban. Jawaban yang kau cari ada di tanah ini."
Damar menatap wajah ayahnya yang penuh dengan guratan perjuangan. Damar merasa bahwa tanah itu bukanlah jawaban. Jawaban yang ia cari tampak seperti sebuah labirin tanpa ujung. Setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya lebih jauh dari jawaban yang ia cari. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah takdir yang telah ditentukan oleh orang lain.