Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Artikel yang ditulis adalah pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari instansi penulis bekerja. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seperti Tanah, Seperti Langit

16 Januari 2025   12:30 Diperbarui: 16 Januari 2025   13:12 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulang ke desa (Sumber: Dall-E).


HUJAN turun menggerus jalan setapak yang dilalui seorang laki-laki di sebuah desa kecil. Jauh dari hiruk-pikuk kota, Damar, anak laki-laki itu, adalah seorang bocah yang jauh dari segala kenyamanan yang biasa dinikmati oleh mereka yang tinggal di kota.

Ayahnya, seorang petani yang tidak pernah banyak bicara, selalu berkata, "Anak laki-laki tidak boleh menangis. Seperti tanah, harus kuat." Ibunya, sebaliknya, hanya tersenyum dan memeluknya ketika dunia terasa begitu berat untuk dipikul. Namun, pelukan itu seakan tak mampu menghapus beban yang perlahan menumpuk di hati Damar.

Sejak kecil, Damar merasa dirinya hidup dalam dua dunia yang terpisah: dunia yang penuh dengan harapan ayahnya akan menjadi petani sukses, dan dunia yang ingin ia lihat sendiri di luar sana. Jauh dari tanah yang mereka miliki.

Pada suatu pagi yang cerah, Damar mendapati dirinya berdiri di tengah ladang jagung yang hampir siap panen. Angin berbisik di antara daun-daun jagung yang berdiri tegak, seperti menanti sesuatu. Damar menatap tanah di bawah kakinya, seolah tanah itu bisa berbicara dan memberitahunya mengapa ia selalu merasa seperti orang asing di tanah yang seharusnya ia miliki.

"Apa yang kau cari di sini, Damar?" suara ayahnya tiba-tiba terdengar dari belakang.

"Aku hanya... berpikir," jawab Damar perlahan, tak tahu apa yang ingin ia katakan sebenarnya.

Ayahnya mengangguk. "Tanah ini tidak butuh pemikiranmu, Damar. Tanah ini hanya butuh kerja keras. Seperti yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Tanah ini memberi kita makan, memberi kita tempat tinggal. Jangan berpikir lebih jauh. Cukup lakukan yang harus dilakukan."

Damar mengiyakan. Namun, Damar merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam kata-kata ayahnya. Sebuah kekosongan yang tak bisa ia pahami, meski telah ia coba berkali-kali.

"Apakah ini yang kita tuju, Ayah? Apa kita hanya hidup untuk bertani sepanjang hidup kita?" Damar akhirnya bertanya, suaranya menggetarkan udara pagi.

Ayahnya tercenung sejenak. Matanya tajam menatap Damar. "Hidup bukan untuk mencari pertanyaan, Damar,” kata ayahnya tegas. “Hidup adalah untuk mencari jawaban. Jawaban yang kau cari ada di tanah ini."

Damar menatap wajah ayahnya yang penuh dengan guratan perjuangan. Damar merasa bahwa tanah itu bukanlah jawaban. Jawaban yang ia cari tampak seperti sebuah labirin tanpa ujung. Setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya lebih jauh dari jawaban yang ia cari. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah takdir yang telah ditentukan oleh orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun