hujan yang menggantung di langit, menolak jatuh ke tanah.
ADA yang abadi dalam ketidakhadiran. SepertiAku memandangnya dari jendela sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Wajah-wajah yang berlalu-lalang di luar. Mengharap dibasuh oleh sesuatu yang tak terlihat. Mereka tidak tahu, bahwa hujan yang mereka tunggu mungkin tak akan pernah datang.
Kau dulu pernah berkata, “Segala yang kita cintai, pada akhirnya akan menjadi bayang-bayang di belakang kita.” Aku tak pernah mengerti maksudmu, hingga kini. Ketika bayanganmu justru menjadi nyata, berdiri di sampingku di setiap pagi yang dingin. Kau adalah hujan yang tidak jatuh itu, menunggu di langit yang kelabu.
Aku ingat malam terakhir kita di stasiun tua. Kau berdiri di peron, dengan koper kecil di tangan. Angin mengacak-acak rambutmu di sela jemari.
“Aku akan kembali,” katamu, tapi nadamu lebih menyerupai permohonan daripada janji.
Kereta datang, suaranya seperti suara hati yang patah. Aku tidak memintamu tinggal. Aku tahu, cinta tidak pernah bertahan jika dipaksa. Namun, saat punggungmu menghilang di balik pintu gerbong, aku merasa seperti seorang pelaut yang kehilangan bintang penuntun.
Kau adalah peta dan kompas yang tidak lagi bisa kugenggam.
Bertahun-tahun berlalu, dan setiap malam aku masih bermimpi tentang stasiun itu. Kau berdiri di sana, tapi kali ini tanpa koper. Kau hanya menatapku, diam, seolah meminta sesuatu yang tidak pernah aku pahami.
Aku selalu terbangun dengan perasaan kosong, seperti seseorang yang mencoba memeluk bayangan.
Suatu hari, sebuah surat tiba. Dari dirimu. Sebuah tanda pos dicap dari kota yang jauh. Isinya sederhana: “Aku baik-baik saja. Langit di sini selalu abu-abu, tapi aku menemukan keindahan dalam warnanya. Aku harap kau juga menemukannya di tempatmu.”
Aku menyimpan surat itu di dalam buku harian tua. Kata-katamu seperti benih, tumbuh di sela-sela halaman. Membangun hutan kecil di dalam pikiranku. Setiap kali aku membacanya, aku merasa kau ada di sini, meski aku tahu itu hanyalah ilusi. Kau adalah puisi yang tak pernah selesai.