Kirana tersenyum samar, merasa kalah dengan logika lelaki itu. “Dan menurutmu, tanah ini sudah siap sekarang?”
Awan mengangguk. “Aku tak akan berada di sini kalau tidak.”
Kirana menghirup kopinya perlahan, menikmati kehangatan yang menjalar ke tubuhnya.
Ia ingin percaya, tapi hatinya belum sepenuhnya yakin. Januari adalah bulan yang penuh kebingungan, pikirnya. Di satu sisi, ia menawarkan awal baru. Di sisi lain, ia mengingatkan tentang akhir yang pernah ada.
Namun, saat ia melihat ke mata Awan, ia melihat sesuatu yang tak pernah berubah: keyakinan.
“Kirana,” suara Awan memecah lamunannya. “Aku tak tahu bagaimana caranya mengulang apa yang pernah hilang. Tapi aku ingin mencoba.”
Kirana menatap hujan di luar jendela. “Hujan tak pernah meminta maaf karena datang terlalu sering. Tapi dia selalu meninggalkan sesuatu—kehidupan. Mungkin kita bisa seperti itu.”
Awan tersenyum lebar. “Kamu selalu punya cara untuk mengalahkanku dengan kata-kata.”
Di luar, hujan mulai reda. Matahari samar-samar muncul di balik awan, seperti mengintip apakah mereka sudah siap untuk memulai lagi. Di dalam kafe, mereka duduk berdua, dengan secangkir harapan yang baru mulai tumbuh.
Dan Januari pun menjadi saksi bahwa cinta, seperti hujan, selalu tahu cara untuk kembali. ■
Jakarta, 8 Januari 2025