Ada luka yang tak hanya menempel di tubuh, tetapi juga mengakar dalam jiwa. Hal ini dialami Lily Bloom dalam "It Ends With Us", film adaptasi dari novel Colleen Hoover yang diproduksi Sony Pictures Entertainment (2024). Film ini mengangkat tema yang jarang dibicarakan secara terbuka: bagaimana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menghancurkan, bukan hanya fisik, tetapi juga jiwa seseorang—bahkan generasi berikutnya.
Sejak remaja, Lily (Blake Lifely sebagai Lily dewasa) sudah akrab dengan kekerasan. Ia menyaksikan ayahnya, yang dianggap oleh dunia luar sebagai sosok terhormat, kerap memukuli ibunya, Jeny Bloom (Amy Morton). Atas nama cinta, ibunya memilih bertahan. Namun, setiap kali Lily melihat luka-luka itu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menjadi seperti ibunya. “Aku tidak akan pernah tinggal dengan pria yang memukulku,” tekad Lily muda (Isabela Ferer sebagai Lily remaja). Bahkan, ketika sang ayah meninggal, dan Lily diminta ibunya untuk menyebutkan lima kebaikan ayahnya dalam pidato, ia tidak sanggup. Luka-luka itu terlalu dalam, kenangan pahit terlalu membekas.
Ironisnya, bayangan masa lalu itu kembali ketika Lily dewasa. Kisah cinta yang semula manis dengan Ryle Kincaid (Justin Baldoni) berubah menjadi mimpi buruk.
Awalnya, hubungan mereka adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Ryle adalah pria menawan, dengan profesi terhormat sebagai dokter bedah, dan penuh perhatian. Cinta mereka begitu menggetarkan hingga menuju jenjang pernikahan. Namun, di balik cinta itu, tersembunyi sisi gelap Ryle yang ia sendiri sadari. “Kamu adalah istriku. Aku seharusnya menjadi orang yang melindungimu dari para monster. Aku tidak seharusnya menjadi salah satunya,” ucap Ryle dalam salah satu adegan yang menyayat hati.
Namun, pengakuan itu tidak menghapus luka Lily. Kekerasan terjadi berulang kali, meski Ryle berjanji untuk berubah. Seiring waktu, Lily menyadari bahwa siklus KDRT yang ia saksikan di masa kecil kini berputar dalam hidupnya. Ketika Lily melahirkan seorang bayi perempuan, ia tahu ia harus memutus siklus itu. Baginya, keputusan untuk pergi bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang putrinya. Ia tidak ingin sang anak tumbuh dalam lingkaran kekerasan yang sama.
Brandon Sklenar). Atlas adalah cinta masa remaja yang penuh kehangatan, tetapi terpisah oleh keadaan. Ketika Lily bertemu lagi dengannya di tengah pernikahan yang penuh konflik, Atlas menjadi cermin dari kehidupan yang mungkin bisa ia jalani: kehidupan tanpa luka. Setelah salah satu insiden kekerasan oleh Ryle, Atlas membawa Lily ke rumah sakit dan menemani saat ia terluka, hanya untuk mengetahui bahwa Lily sedang mengandung anak Ryle. Meski begitu, Atlas tetap memberinya harapan dengan kalimat yang menyentuh, “Jika kamu masih mampu untuk jatuh cinta lagi, jatuh cintalah padaku.”Tidak kurang Allysa (Jenny Slate), sahabat yang juga adik kandung dari Ryle sendiri mendukung keputusan Lily, "Sebagai adiknya, aku sungguh berharap kau bisa memaafkannya. Tapi sebagai teman baikmu, jika kau menerimanya kembali, aku tak mau lagi bicara dengan mu."
Film ini juga membayangi perjuangan Lily dengan kisah cinta pertamanya, Atlas Corrigan (Keputusan Lily untuk meninggalkan Ryle adalah puncak dari perjalanan panjangnya memahami makna cinta. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak melukai, tidak membiarkan luka bertumbuh. Pergi dari hubungan toxic bukan berarti menyerah, melainkan sebuah kemenangan—kemenangan atas ketakutan, stigma, dan kebiasaan yang salah.
"It Ends With Us", yang tayang di bioskop pada Agustus tahun lalu dan di Netflix pada awal tahun 2025 ini, adalah kisah tentang keberanian: keberanian untuk memilih diri sendiri di atas cinta yang merusak. Keberanian untuk memutus siklus yang merugikan, dan keberanian untuk mencintai lagi, meski harus membangun kembali dari awal.
Lily tampaknya menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kita bayangkan. Ia bukan ledakan emosi yang menggetarkan, melainkan kedamaian yang datang saat kita tahu bahwa pilihan kita adalah yang terbaik untuk diri sendiri, meskipun sulit.
Film ini tidak memberikan definisi tunggal tentang kebahagiaan. Ia membiarkan penontonnya mendekati pertanyaan itu dengan caranya sendiri. Kita dihadapkan pada refleksi: apakah kita bahagia, atau hanya merasa nyaman? Apakah kebahagiaan itu perasaan yang harus dicapai, atau keputusan yang harus diambil?
Seperti semua cerita yang baik, "It Ends With Us" tidak hanya menghibur, tetapi juga menantang. Ia memaksa kita bertanya: apakah cinta cukup untuk membenarkan segalanya? Ataukah ada hal lain yang lebih penting—diri kita sendiri, harga diri kita, kehidupan yang ingin kita jalani?