Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Di Persimpangan Waktu (Berkaca dari Film "About Schmidt")

31 Desember 2024   14:36 Diperbarui: 31 Desember 2024   15:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Image Creator, Bing.


Hidup adalah perjalanan menuju makna, tapi apa yang terjadi ketika makna itu tersesat di persimpangan waktu? Hidupku di sepanjang tahun 2024 ada di persimpangan itu, berupa saat-saat pensiun tiba. Dan nenjelang pensiun, aku dibayang-bayangi renungan dalam film About Schmidt (2002). "Inikah diriku nanti?" gumamku saat memutar film itu.

Warren Schmidt, diperankan oleh Jack Nicholson, seorang manajer asuransi dalam film itu, memulai langkahnya menuju pensiun dengan rasa kehilangan. Hidupnya, yang bertahun-tahun berputar dalam rutinitas, mendadak kosong seperti ruang kantor yang telah dibersihkan. Ia menatap masa depan yang tak ia kenali dan dalam keheningan itu bertanya: apakah hidupku pernah berarti?

Mungkin kita semua adalah Schmidt, dalam skala yang berbeda. Tanggal pensiunku, 1 Maret 2025, dulu terasa begitu jauh. Kini, ia mengintai seperti bayangan malam yang enggan hilang. Seiring waktu, teman-temanku bercanda, menyebutku "pegawai bulanan" yang sebentar lagi berubah menjadi "pegawai harian", sebelum akhirnya menjadi "bukan pegawai lagi."

Apa yang membuat pensiun menakutkan bukanlah kehilangan pekerjaan itu sendiri, melainkan kehilangan makna yang terkandung di dalamnya. Siapa aku tanpa jadwal rapat yang padat, tanpa berkas yang menunggu tanda tanganku, tanpa kendaraan dinas dan perangkat digital kantor, tanpa sapaan hormat dari rekan kerja atau mitra? Schmidt, seperti aku, merasa seperti kapal yang kehilangan jangkar, mengapung di lautan luas tanpa arah.

Dalam setiap detik yang melintasi kalender, aku merasakan gemuruh tak kasatmata: kegelisahan yang menyeruak. Tak ubahnya seperti Warren Schmidt dalam film itu, yang mengkhawatirkan bahwa hidup tanpa pekerjaan adalah ruang hampa yang tak mudah diisi. Pensiun adalah lembaran baru yang seharusnya penuh harapan. Namun, ia juga membawa ketakutan yang sulit dijelaskan.

Hanya saja, Schmidt kemudian mengajarkan bahwa kekosongan bukanlah akhir. Ia adalah awal dari pencarian baru. Seperti yang ditulis Rainer Maria Rilke, "Hidup adalah tentang menjadi sabar terhadap semua hal yang belum terjawab dan mencoba mencintai pertanyaan-pertanyaannya." 

Aku mencoba mencintai pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Membayangkan hari-hari yang tak lagi dihabiskan di ruang rapat, melainkan di teras rumah dengan secangkir kopi. Buku-buku yang selama ini mengumpulkan debu di rak akhirnya akan dibuka. Barangkali, aku akan menulis puisi, cerpen atau novel yang selama ini hanya hidup dalam imajinasi, atau belajar sesuatu yang baru seperti kecerdasan buatan—angan yang selama ini hanya bersarang di sudut pikiranku. Atau bekerja lagi dengan profesiku sebagai akuntan.

Seperti halnya Schmidt, dalam kekosongannya, menyadari sesuatu yang mendalam: hidup bukanlah soal pencapaian besar atau tepuk tangan meriah. Hidup adalah tentang perhatian kecil yang kita berikan kepada orang lain. Seperti surat-surat Schmidt kepada Ndugu, seorang anak yang ia sponsori melalui program amal, yang meski tampak sederhana, menjadi pijakan bagi pencarian maknanya.

Mungkin, pensiun adalah panggilan untuk menjadi lebih manusiawi. Menyadari bahwa nilai diriku tidak ditentukan oleh kartu identitas pegawai, melainkan oleh manfaat hidup yang dapat kuberikan, kedamaian yang kutebar, dan jejak kehidupan yang kuwariskan. Seperti dalam film itu, Schmidt akhirnya menemukan makna dalam hal-hal kecil yang dulu ia abaikan. Aku ingin seperti dia. Menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana: dalam senyum anak-anak, dalam tawa cucu, dalam kehangatan keluarga, dan dalam persahabatan yang tulus. Seperti ketika Warren Schmidt menulis surat kepada Ndugu, anak yang ia sponsori melalui program amal: "Relatively soon, I will die. Maybe in 20 years, maybe tomorrow, it doesn’t matter. Once I am dead and everyone who knew me dies too, it will be as though I never existed. What difference has my life made to anyone? None that I can think of. None at all."

Ia mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi itu tidak berarti hidup kehilangan arti. Schmidt menemukan bahwa meskipun hidupnya tampak tak signifikan dalam skala besar, setiap tindakan kecil yang ia lakukan memiliki potensi untuk memberi makna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Dalam perjalanan ini, aku juga diingatkan tentang rezeki. Ia bukan sekadar harta atau keberuntungan material, melainkan cinta dari keluarga, momen-momen hening yang penuh makna, dan hubungan sederhana yang tulus. Rezeki adalah anugerah dari Yang Maha Kaya, yang datang dalam bentuk yang tak selalu terlihat oleh mata, tetapi dirasakan oleh hati. Ia tak pernah tertukar. Ia tiba pada saat yang tepat, sesuai dengan kebutuhan kita. Tuhan, dalam kemahabesaran-Nya, telah mengatur setiap detail kehidupan ini, termasuk langkah-langkah kecil menuju makna baru setelah pensiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun