Hidup adalah perjalanan menuju makna, tapi apa yang terjadi ketika makna itu tersesat di persimpangan waktu? Hidupku di sepanjang tahun 2024 ada di persimpangan itu, berupa saat-saat pensiun tiba. Dan nenjelang pensiun, aku dibayang-bayangi renungan dalam film About Schmidt (2002). "Inikah diriku nanti?" gumamku saat memutar film itu.
Warren Schmidt, diperankan oleh Jack Nicholson, seorang manajer asuransi dalam film itu, memulai langkahnya menuju pensiun dengan rasa kehilangan. Hidupnya, yang bertahun-tahun berputar dalam rutinitas, mendadak kosong seperti ruang kantor yang telah dibersihkan. Ia menatap masa depan yang tak ia kenali dan dalam keheningan itu bertanya: apakah hidupku pernah berarti?
Mungkin kita semua adalah Schmidt, dalam skala yang berbeda. Tanggal pensiunku, 1 Maret 2025, dulu terasa begitu jauh. Kini, ia mengintai seperti bayangan malam yang enggan hilang. Seiring waktu, teman-temanku bercanda, menyebutku "pegawai bulanan" yang sebentar lagi berubah menjadi "pegawai harian", sebelum akhirnya menjadi "bukan pegawai lagi."
Apa yang membuat pensiun menakutkan bukanlah kehilangan pekerjaan itu sendiri, melainkan kehilangan makna yang terkandung di dalamnya. Siapa aku tanpa jadwal rapat yang padat, tanpa berkas yang menunggu tanda tanganku, tanpa kendaraan dinas dan perangkat digital kantor, tanpa sapaan hormat dari rekan kerja atau mitra? Schmidt, seperti aku, merasa seperti kapal yang kehilangan jangkar, mengapung di lautan luas tanpa arah.
Dalam setiap detik yang melintasi kalender, aku merasakan gemuruh tak kasatmata: kegelisahan yang menyeruak. Tak ubahnya seperti Warren Schmidt dalam film itu, yang mengkhawatirkan bahwa hidup tanpa pekerjaan adalah ruang hampa yang tak mudah diisi. Pensiun adalah lembaran baru yang seharusnya penuh harapan. Namun, ia juga membawa ketakutan yang sulit dijelaskan.
Hanya saja, Schmidt kemudian mengajarkan bahwa kekosongan bukanlah akhir. Ia adalah awal dari pencarian baru. Seperti yang ditulis Rainer Maria Rilke, "Hidup adalah tentang menjadi sabar terhadap semua hal yang belum terjawab dan mencoba mencintai pertanyaan-pertanyaannya."Â
Aku mencoba mencintai pertanyaan-pertanyaanku sendiri. Membayangkan hari-hari yang tak lagi dihabiskan di ruang rapat, melainkan di teras rumah dengan secangkir kopi. Buku-buku yang selama ini mengumpulkan debu di rak akhirnya akan dibuka. Barangkali, aku akan menulis puisi, cerpen atau novel yang selama ini hanya hidup dalam imajinasi, atau belajar sesuatu yang baru seperti kecerdasan buatan—angan yang selama ini hanya bersarang di sudut pikiranku. Atau bekerja lagi dengan profesiku sebagai akuntan.
Seperti halnya Schmidt, dalam kekosongannya, menyadari sesuatu yang mendalam: hidup bukanlah soal pencapaian besar atau tepuk tangan meriah. Hidup adalah tentang perhatian kecil yang kita berikan kepada orang lain. Seperti surat-surat Schmidt kepada Ndugu, seorang anak yang ia sponsori melalui program amal, yang meski tampak sederhana, menjadi pijakan bagi pencarian maknanya.
Mungkin, pensiun adalah panggilan untuk menjadi lebih manusiawi. Menyadari bahwa nilai diriku tidak ditentukan oleh kartu identitas pegawai, melainkan oleh manfaat hidup yang dapat kuberikan, kedamaian yang kutebar, dan jejak kehidupan yang kuwariskan. Seperti dalam film itu, Schmidt akhirnya menemukan makna dalam hal-hal kecil yang dulu ia abaikan. Aku ingin seperti dia. Menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana: dalam senyum anak-anak, dalam tawa cucu, dalam kehangatan keluarga, dan dalam persahabatan yang tulus. Seperti ketika Warren Schmidt menulis surat kepada Ndugu, anak yang ia sponsori melalui program amal: "Relatively soon, I will die. Maybe in 20 years, maybe tomorrow, it doesn’t matter. Once I am dead and everyone who knew me dies too, it will be as though I never existed. What difference has my life made to anyone? None that I can think of. None at all."
Ia mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi itu tidak berarti hidup kehilangan arti. Schmidt menemukan bahwa meskipun hidupnya tampak tak signifikan dalam skala besar, setiap tindakan kecil yang ia lakukan memiliki potensi untuk memberi makna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Dalam perjalanan ini, aku juga diingatkan tentang rezeki. Ia bukan sekadar harta atau keberuntungan material, melainkan cinta dari keluarga, momen-momen hening yang penuh makna, dan hubungan sederhana yang tulus. Rezeki adalah anugerah dari Yang Maha Kaya, yang datang dalam bentuk yang tak selalu terlihat oleh mata, tetapi dirasakan oleh hati. Ia tak pernah tertukar. Ia tiba pada saat yang tepat, sesuai dengan kebutuhan kita. Tuhan, dalam kemahabesaran-Nya, telah mengatur setiap detail kehidupan ini, termasuk langkah-langkah kecil menuju makna baru setelah pensiun.