Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan - Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah Direktur Pengawasan Bidang Pengembangan SDM dan Kebudayaan di sebuah instansi pemerintah, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas (“Soekarno, Mahathir dan Megawati”, 3 November 2003, dan terakhir “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan”, Kompas 9 Oktober 2024). Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Blockchain dan Crytocurrency: Simfoni Teknologi di Era Digital

30 Desember 2024   08:25 Diperbarui: 30 Desember 2024   08:25 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Image Creator, Bing

Di bawah sorotan lampu panggung era digital, blockchain dan cryptocurrency hadir seperti simfoni Beethoven yang memecah kebekuan abad 19. Teknologi ini, bagai sebuah overture, menawarkan transparansi dan keamanan yang menjanjikan, menggoda banyak pihak untuk bergabung dalam orkestranya. Namun, seperti adagium kuno Heraclitus, "Tidak ada yang tetap; segalanya mengalir," dunia blockchain dan cryptocurrency terus bergerak dalam tarian evolusi yang tak terduga.

Blockchain, dengan janji desentralisasinya, tampak seperti menara Babel yang tidak pernah selesai. Ia menawarkan transparansi dalam setiap blok data yang terhubung, menciptakan kepercayaan di antara pihak-pihak yang sebelumnya saling curiga. Dalam pengelolaan data, teknologi ini menorehkan babak baru. Bank Dunia pernah mencatat bahwa sekitar 1,7 miliar orang di dunia tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal. Di sinilah blockchain seperti Musa yang membelah Laut Merah, membuka jalan bagi inklusi keuangan. Salah satu contoh penerapannya adalah di Afrika, di mana teknologi blockchain digunakan oleh perusahaan seperti Bitland untuk mencatat kepemilikan tanah, mengurangi sengketa, dan meningkatkan akses kredit.

Namun, transparansi yang ditawarkan blockchain tidak bebas dari kritik. Yuval Noah Harari, dalam Homo Deus, menulis bahwa teknologi bisa menjadi alat pembebas, tapi juga rantai yang membelenggu. Blockchain, meskipun transparan, bisa saja menjadi panoptikum digital -- di mana setiap gerak-gerik kita tercatat tanpa cela. Dalam dunia yang haus privasi, seberapa jauh kita rela melepas kebebasan demi efisiensi dan keamanan? Laporan dari Privacy International menunjukkan bahwa 73% pengguna teknologi merasa cemas tentang bagaimana data mereka digunakan, meski mengakui manfaat dari transparansi.

Di sisi lain, cryptocurrency seperti Bitcoin hadir sebagai protagonis yang mengguncang panggung keuangan global. Ia adalah jawaban bagi mereka yang muak dengan monopoli bank sentral dan volatilitas mata uang fiat. Satoshi Nakamoto, pencipta anonim Bitcoin, menjadi seperti Prometheus yang mencuri api dari dewa-dewa, memberikan kekuatan ekonomi kepada masyarakat luas. Namun, dalam mitos yang sama, kita tahu bahwa Prometheus juga dihukum karena pemberontakannya. Demikian pula, Bitcoin menghadapi tekanan dari regulator yang melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas keuangan. Misalnya, di India, Reserve Bank of India (RBI) pernah melarang bank untuk memfasilitasi transaksi terkait cryptocurrency pada 2018 sebelum akhirnya larangan tersebut dicabut oleh Mahkamah Agung pada 2020.

Elon Musk, salah satu pionir era digital, pernah berkata bahwa cryptocurrency adalah "masa depan uang." Namun, ia juga mencatat bahwa volatilitasnya membuatnya seperti pedang bermata dua. Dalam hitungan jam, harga Bitcoin bisa melambung setinggi langit atau terjun bebas ke jurang. Pada April 2021, Bitcoin mencapai puncak harga $64.000, tetapi hanya beberapa bulan kemudian, nilainya anjlok lebih dari 50%. Dalam ketidakpastian ini, banyak yang bertanya-tanya: apakah ini investasi atau sekadar perjudian dengan nama canggih?

Regulasi menjadi simfoni tersendiri dalam narasi blockchain dan cryptocurrency. Pemerintah di seluruh dunia berusaha menyeimbangkan antara inovasi dan kontrol. Di satu sisi, regulasi dibutuhkan untuk melindungi konsumen dan mencegah aktivitas ilegal seperti pencucian uang. Data dari Chainalysis mencatat bahwa pada 2021, aktivitas kriminal yang melibatkan cryptocurrency mencapai $14 miliar, meningkat dari tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain, regulasi yang terlalu ketat bisa memadamkan api inovasi yang baru saja menyala. Contohnya adalah tindakan keras yang dilakukan pemerintah China terhadap penambangan Bitcoin pada 2021, yang menyebabkan penurunan tajam dalam hash rate global sebesar 50% dalam waktu singkat.

Di Indonesia, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memandang cryptocurrency dengan kehati-hatian. Mereka mengingatkan risiko, tetapi juga mulai membuka ruang untuk inovasi. Pemerintah melihat peluang besar dalam teknologi blockchain, terutama dalam pengelolaan data publik dan efisiensi administrasi. Misalnya, proyek Blockchain Nusantara telah diuji coba untuk meningkatkan transparansi dalam distribusi bantuan sosial. Tetapi seperti kata Milan Kundera dalam The Unbearable Lightness of Being, "Keputusan besar sering kali lahir dari ketidakpastian kecil." Pertanyaan besar pun menggantung: apakah Indonesia siap menjadi pemain global dalam revolusi ini, atau hanya akan menjadi penonton yang pasif?

Negara-negara lain juga menunjukkan pendekatan berbeda terhadap teknologi ini. Di Estonia, blockchain telah diintegrasikan ke dalam sistem administrasi publik, memungkinkan warga negara untuk mengakses layanan pemerintah secara transparan dan aman. Sementara itu, El Salvador mencatat sejarah pada 2021 dengan menjadi negara pertama yang mengadopsi Bitcoin sebagai mata uang resmi, meskipun kebijakan ini menuai kontroversi di dalam dan luar negeri.

Masa depan blockchain dan cryptocurrency adalah teka-teki yang menarik untuk dipecahkan. Di satu sisi, teknologi ini menjanjikan kebebasan ekonomi dan transparansi yang tak pernah ada sebelumnya. Namun, di sisi lain, ia membawa tantangan besar: volatilitas, regulasi, dan risiko privasi. Dalam dunia yang terus berubah, mungkin kita perlu mengingat kata-kata Albert Einstein: "Imagination is more important than knowledge."

Blockchain dan cryptocurrency adalah panggung bagi imajinasi kita. Bagaimana kita memainkannya, menentukan apakah teknologi ini akan menjadi simfoni kemenangan atau elegi kegagalan di era digital ini.

Jakarta, 30 Desember 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun