Pasar-pasar tradisional merangkak menyesuaikan diri, sementara gerai-gerai digital terus tumbuh seperti cendawan selepas hujan. Jika Adam Smith berbicara tentang tangan tak terlihat yang mengatur pasar, maka di era digital, tangan itu seolah membimbing konsumen melalui algoritma yang mengetahui keinginan mereka lebih dari diri mereka sendiri.
Ada yang berubah di akhir tahun ini.Inflasi, kata yang sering kali terdengar seperti momok, menjadi latar belakang semua perubahan ini. Bank Dunia mencatat bahwa inflasi global pada tahun 2024 rata-rata mencapai 6,7%, sementara di Indonesia angka inflasi berada di kisaran 4,5%. Angka ini, meskipun masih dalam target pemerintah, tetap dirasakan berat oleh masyarakat. Survei BPS menunjukkan bahwa 68% rumah tangga mengurangi pembelian barang non-pokok akibat kenaikan harga bahan makanan sebesar 7,8% sepanjang tahun.
Namun, tidak semua kelam. Digitalisasi belanja memberikan oase di tengah badai inflasi. Dengan satu sentuhan layar, kebutuhan pokok hingga keinginan impulsif dapat terpenuhi. Laporan e-Conomy SEA 2024 menunjukkan bahwa nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai USD 77 miliar, meningkat 17% dari tahun sebelumnya. Amazon, Tokopedia, hingga Shopee menciptakan ruang tanpa batas yang membuat konsep pasar tradisional tampak kuno. Marshall McLuhan menyebut dunia sebagai "global village," dan kini pasar dunia hadir di ujung jari kita.
Tetapi kemudahan ini memiliki harga. Data pribadi menjadi mata uang baru. Apa yang kita cari, beli, dan klik, semua direkam dan diolah menjadi prediksi konsumsi. Di sinilah George Orwell tampaknya benar: "Big Brother is watching you." Namun, kali ini, ia tidak hanya mengawasi; ia juga menjual. Sebagai contoh, kasus kebocoran data pengguna oleh salah satu platform e-commerce terbesar di Indonesia pada awal tahun ini mengingatkan kita akan risiko yang mengintai di balik kenyamanan.
Kebijakan fiskal pemerintah, meski bertujuan baik, sering kali berjalan seperti penari yang kehilangan irama. Subsidi bahan pokok ditambah, pajak digital diterapkan, tetapi hasilnya tetap dirasakan tidak merata. Subsidi minyak goreng senilai Rp15 triliun di tahun 2024, misalnya, berhasil menekan harga di pasar, tetapi distribusinya yang tidak merata menjadi keluhan masyarakat. Dalam diskusi kebijakan, Friedrich Hayek pernah memperingatkan bahwa campur tangan pemerintah yang berlebihan sering kali menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Namun, dalam kondisi inflasi yang menggigit, ketidakhadiran pemerintah pun bisa menjadi bencana.
Jika dibandingkan dengan negara lain, tren konsumsi masyarakat Indonesia menunjukkan dinamika yang unik. Di negara tetangga seperti Malaysia, inflasi lebih terkendali di angka 3,3% berkat kebijakan subsidi energi yang terintegrasi. Sementara itu, di India, digitalisasi belanja berkembang pesat dengan nilai transaksi mencapai USD 120 miliar pada tahun 2024, tetapi kesenjangan akses teknologi masih menjadi tantangan utama. Indonesia, dengan penetrasi internet 77% dan pertumbuhan kelas menengah yang cepat, berada di tengah-tengah, berpotensi besar namun rentan terhadap ketimpangan.
Di penghujung tahun, kita melihat bagaimana tren konsumsi berubah menjadi cerminan dari dunia yang terhubung, tapi terpecah; modern, tapi penuh paradoks. Belanja online meningkat, tetapi toko kecil berjuang untuk bertahan. Keseimbangan ini, seperti tali yang ditarik dari dua sisi, adalah tantangan yang harus dijawab. Dalam kata-kata Charles Dickens, "It was the best of times, it was the worst of times." Dan di sini, kita berdiri, di tengah keduanya.
Bogor, 27 Desember 2024
- Dikdik Sadikin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H