Jam 4 pagi kita terbangun, karena alarm ponsel yang berbunyi nyaring seperti sirine pabrik. Setelah ibadah, lalu ada kopi hitam mengepulkan asap di atas meja. Kita bergerak cepat dari satu daftar tugas ke daftar tugas lainnya, seperti roda gigi yang berputar tanpa henti. Di sela-sela kesibukan itu, suara kecil berbisik: "Berhenti, lihat dirimu." Tapi bisikan itu sering kalah oleh suara riuh target, rapat, dan notifikasi.
Hustle culture, begitu orang menamainya. Budaya yang memuja produktivitas sebagai kebajikan tertinggi. Bekerja keras, tanpa jeda, katanya, adalah jalan menuju kesuksesan. “Tidak ada mimpi yang bisa dicapai dari tidur,” ujar pepatah lama. Lebih jauh, Rainer Maria Rilke pernah menulis, “In the difficult are the friendly forces, the hands that work on us.” Kita memaknai "difficult" bukan lagi sekadar tantangan, tetapi penderitaan sebagai syarat kemenangan.
Lalu pandemi datang, seperti lonceng besar yang membungkam segala kebisingan. Dunia tiba-tiba berhenti. Mesin-mesin itu—mesin industri, mesin kantor, mesin diri—terpaksa diam. Dan di dalam diam, orang mulai mendengar. Kita menemukan cermin. Cermin itu bukan sekadar pantulan rupa, tapi gambaran yang lebih dalam: lekuk wajah lelah, tubuh yang ditinggalkan istirahat, pikiran yang tersesat. Dari cermin itu, lahir kesadaran: produktivitas tak seharusnya membunuh kemanusiaan.
Kata self-love muncul. Awalnya samar, seperti jargon kosong yang dipakai penjual lilin aromaterapi. Tapi lama-kelamaan, ia tumbuh menjadi gerakan. Kita mulai mendengar pernyataan seperti: “Rest is productive.” Istirahat bukan kebohongan, bukan perlawanan terhadap kerja keras, melainkan bagian darinya. Seorang psikolog modern, Brené Brown, mengingatkan bahwa membiarkan diri rapuh, vulnerable, adalah kekuatan terbesar manusia. Ironis, bukan? Di tengah dunia yang terus mendorong kita menjadi kuat, kita menemukan kekuatan justru saat kita berani berhenti.
Di sisi lain, budaya hustle menemukan pembelanya. “Hidup adalah kompetisi,” ujar mereka. Bahkan ketika kita tidur, ada orang lain yang masih bekerja. Elon Musk berkata: “Nobody ever changed the world on 40 hours a week.” Mantra-mantra seperti ini menyihir: lebih cepat, lebih kuat, lebih berhasil—dan akhirnya, lebih lelah. Kita, seperti Sisifus, mendorong batu besar ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh, lalu mulai lagi. Camus menyebut itu absurditas hidup, tapi manusia modern menjadikannya kebanggaan.
Namun ada yang berubah. Generasi hari ini menolak menjadikan hidup sekadar hitungan jam kerja. Mereka menolak menjadi “batu loncatan” bagi pencapaian orang lain. Mereka belajar bahwa pekerjaan hanyalah sebagian dari hidup, bukan sebaliknya. Perlawanan mereka terhadap hustle culture bukan semata-mata pemberontakan, tapi upaya mencari keseimbangan hidup. Mereka memetik kalimat Audre Lorde: “Caring for myself is not self-indulgence, it is self-preservation, and that is an act of political warfare.” Merawat diri, bagi Lorde, adalah perjuangan.
Hanya saja, keseimbangan itu pelik. Perlawanan terhadap produktivitas berlebihan bisa dengan mudah tergelincir menjadi kemalasan yang merusak. Bukankah pengakuan atas self-love harus diiringi kesadaran bahwa hidup adalah kerja? Bahwa tidak ada seni tanpa ketekunan, tidak ada kebahagiaan tanpa upaya?
Di sinilah dilema itu berada. Bagaimana kita mencintai diri tanpa jatuh ke lembah apatis? Bagaimana kita tetap bekerja keras tanpa menjadi budak sistem yang kita ciptakan sendiri? Sebab, seperti yang dikatakan pendeta dan penulis Thomas Merton, “Happiness is not a matter of intensity but of balance, order, rhythm and harmony.” Kita harus belajar menciptakan harmoni itu—antara kerja dan jeda, antara mencipta dan menikmati.
Di jalan raya yang dulu kita lalui dengan tergesa, kini ada orang-orang berjalan santai. Mereka menyadari, tujuan hidup bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan perjalanan itu sendiri. Mereka berhenti untuk merasakan angin, menatap matahari tenggelam, atau sekadar duduk diam tanpa rasa bersalah. Di dalam diam, mesin-mesin itu beristirahat. Dan kita, akhirnya, mendengar diri kita bicara.
Apakah kita telah benar-benar beralih dari hustle menuju perawatan diri? Mungkin belum sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita mulai melihat cermin. Kita mulai belajar bahwa hidup bukan tentang berlari hingga kelelahan, tetapi tentang menari dengan waktu. Perlahan, tapi pasti, kita mulai menulis ulang definisi sukses: bahagia, sehat, dan hadir untuk diri kita sendiri.