Dalam riuh rendahnya suara-suara demokrasi, setiap rupiah yang beredar dalam kampanye politik menjadi seperti garis-garis tipis yang menghubungkan kekuasaan dan moralitas. Di balik gemerlap iklan kampanye, janji yang mengudara, dan wajah-wajah kandidat yang menyeringai dalam spanduk besar, terselip peran akuntan yang senyap namun penting, merekam arus uang yang mengalir—kadang berliku, kadang tersamar. Tugas mereka adalah menjaga agar tiap rupiah itu tak berubah menjadi noda dalam perjalanan demokrasi.
Di dunia politik, niat baik itu seringkali diwujudkan dalam uang yang mengalir dari kantong para penyokong yang ‘bermurah hati’. Tapi niat baik itu punya risiko berubah menjadi jalan gelap, di mana uang terselip dalam kantong-kantong rahasia, terselubung kepentingan. Jargon “No free lunch” pun menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan terjadi. Di sinilah akuntan memasuki panggung. Bukan sebagai pahlawan dengan jubah, tapi sebagai penjaga pintu transparansi dan akuntabilitas. Memastikan bahwa niat baik tidak melenceng menjadi laku yang kelam.
Di atas kertas-kertas laporan, angka-angka dihidupkan oleh tangan-tangan akuntan yang teliti. Para akuntan pemerintah, seperti di BPK, BPKP dan aparat pengawas intern pemerintah (APIP) lainnya di bawah kementerian, lembaga dan pemda, mengurai setiap simpul dana publik yang bersumber dari pajak dan sumber pendanaan negara lain, tersalurkan demi satu tujuan: pemilu yang bersih. Mereka tak hanya bekerja dengan angka, tetapi juga dengan hati-hati menghadapi godaan untuk ‘membiarkan saja’ ketika selisih ditemukan atau sumber dana yang tak jelas diterima. Seperti pisau tajam, tugas mereka adalah memotong benang-benang gelap yang bisa menghubungkan uang rakyat dengan agenda-agenda tersembunyi.
Pada Pemilu 2014, BPK—dalam laporan setebal lebih dari seribu halaman—menyebut bahwa sekitar 35% laporan dana kampanye mengalami ketidaksesuaian. Mungkin terdengar sepele, sekadar ‘salah ketik’ atau ‘lupa’ mencatat. Tapi bukankah kealpaan kecil ini bisa menjadi ruang gerilya bagi uang yang kelak menghantam demokrasi? Pada Pemilu 2019, pelanggaran yang sama kembali muncul; ada sumbangan dari perusahaan yang terkait dengan kandidat, dana dari sumber yang tak dikenal, dan entah berapa banyak transaksi yang tak tercatat. Para akuntan di pemerintah itu bergulat dengan angka-angka ini, berupaya menghadirkan akuntabilitas di tengah pusaran yang mudah tergelincir.
Seperti yang pernah dikatakan Benjamin Franklin, “Tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak.” Tapi di pemilu, bahkan pajak bisa berkelindan dalam abu-abu kepentingan. Dana publik yang ditujukan untuk pelaksanaan pemilu disalurkan melalui berbagai jalur; dalam sosialisasi pemilu, pengadaan logistik, hingga dana operasional yang kadang menyebar hingga pelosok daerah. Di sinilah akuntan di pemerintah berperan, melacak anggaran itu, mengawasi agar dana yang seharusnya untuk pendidikan pemilih tidak malah terpakai untuk kepentingan partai atau kandidat.
Teknologi kini telah memberi tangan akuntan kekuatan baru. Di era digital, arus dana tak lagi hanya tercatat di buku-buku tebal atau lembaran laporan, tapi kini mengalir melalui blockchain yang transparan. Setiap rupiah bisa terlacak, meninggalkan jejak digital yang tak mudah dihapus. Para akuntan di pemerintah kini memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan pengawasan yang lebih ketat. Tak ada lagi ruang bagi uang yang terselip, seperti kapal karam di dasar samudra. Teknologi, dalam hal ini, adalah sekutu dalam perjalanan menuju transparansi.
Namun, di balik semua itu, tetap ada godaan besar untuk ‘mengabaikan’. Ketika akuntan dihadapkan pada angka yang mencurigakan, ada bisikan yang menggoda. Tetapi seorang akuntan yang berintegritas paham, bahwa satu indikasi yang diabaikan bisa membuka pintu bagi kejahatan yang lebih besar. Dalam senyap, mereka berperan sebagai benteng. Di dalam kesederhanaan profesi mereka, terselip kekuatan untuk menolak atau menerima, untuk mengubah pemilu menjadi panggung yang jujur atau sekadar permainan kepentingan.
Pemilu adalah teater demokrasi, dan akuntan adalah pekerja di belakang layar yang menjaga panggung itu tetap berdiri dengan kokoh. Angka-angka dalam laporan mereka bukan sekadar bilangan; di balik setiap angka adalah upaya menjaga kepercayaan masyarakat, memastikan agar suara rakyat tak dirusak oleh kekuasaan uang. Seperti yang pernah diungkapkan Leo Tolstoy, “Seni bukanlah cermin untuk merefleksikan realitas, melainkan palu untuk membentuknya”. Begitu pula akuntan: mereka bukan sekadar cermin yang mencatat setiap transaksi, tapi palu yang membentuk realitas pemilu yang bersih.
Pada akhirnya, demokrasi kita, dalam cengkeraman godaan kekuasaan, hanya bisa bertahan jika para akuntan di seluruh lembaga pengawas tetap setia pada perannya, tetap memiliki integritas tinggi. Bukan hanya sebagai penjaga angka, tetapi sebagai penjaga etika. Mereka adalah garis tipis antara niat baik dan godaan, antara kepentingan dan kejujuran.
Di tahun politik ini, kehadiran mereka bukan hanya penting. Mereka adalah penggerak senyap di balik layar demokrasi, memastikan bahwa setiap suara yang tercatat di kotak suara adalah hasil dari proses yang bersih. Bukan dari bayangan niat yang tersembunyi.