"Multikulturalisme" dan "Kesetaraan" bukan lagi istilah asing bagi sebagian penduduk Indonesia. Mengingat kedua istilah ini, banyak sekali diangkat pada agenda resmi ke-Negaraan ataupun Non ke-Negaraan belakangan ini. Hal ini menandakan bahwa betapa pentingnya pemahaman akan multikulturalisme dan kesetaraan bagi suatu bangsa yang banyak sekali akan keragamannya sepertihalnya di "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)".
Apa itu multikulturalisme ? Multikulturalisme, "Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat."(Irhandayaningsih, 2012)
Adapun konsep kesetaraan banyak diperbincangkan belakangan ini, salah satunya yaitu konsep kesetaraan gender. Yang dimana pembahasan ini, menyebabkan beberapa polemik di kalangan masyarakat. Terlepas dari itu semua, sudah selayaknya kita untuk menyikapi secara bijak akan konsep multikulturalisme dan kesetaraan sebagai anugerah yang akan membawa manfaat kedepannya.
Tahukah anda ? bahwa Indonesia dijadikan sebagai negara percontohan oleh negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang berhasil mengelola keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika meninjau dari data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada tahun 2013 yang berhasil menganalisis suku yang tersaji dalam Buku "Demography of Indonesia's Ethnicity". Berdasar data sensus penduduk 2010 (SP2010), Suku jawa adalah suku terbesar dengan proporsi 40,05 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Menempati posisi kedua adalah Suku Sunda sebesar 15,50 persen. Selanjutnya suku-suku lainnya memiliki proporsi di bawah lima persen penduduk Indonesia.
Berdasarkan sajian data tersebut, Presiden Joko Widodo pada acara Peringatan Konferensi Asia-Afrika Tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta, Selasa, (18/04/2017) mengatakan, "Kalau dulu Indonesia menjadi salah satu inisiator solidaritas Asia-Afrika, menjadi inspirator negara-negara terjajah untuk merdeka. Sekarang Indonesia menjadi rujukan dalam mengelola keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan,". Namun apakah pernyataan ini telah tepat, untuk menjadikan Indonesia sebagai acuan oleh negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) ? maka tolak ukur yang tepat dalam menilainya, adalah dengan melihat tingkat toleransi penduduk Indonesia itu sendiri.
Maka Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), bisa dijadikan rekomendasi tolak ukur toleransi keberagaman dalam keagamaan. Mengacu kepada Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Tahun 2020, "Selama kurun enam tahun terakhir (2015- 2020), hasil survei Kerukunan Umat Beragama (KUB) menunjukkan tren yang positif yakni dalam kategori kerukunan yang tinggi". (Burhani, Awaludin, Haryadi, & Adlin Sila, 2020). Yang dimana pada tahun 2020 menunjukkan indeks angka di 67,46 %. Dan bahkan Nilai Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Tahun 2021 masuk pada kategori baik. Nilainya berada pada rerata nasional 72,39 atau naik 4,93 poin dari tahun sebelumnya.
Indeks Kerukunan Umat Beragama atau yang disingkat dengan KUB, boleh saja menyajikan hasil data yang menyatakan suatu tren positif. Namun jika diteliti lebih jauh, maka akan nampaklah suatu fakta yang bisa dijadikan bahan pertimbangan kedepannya. Apakah Indonesia benar-benar layak menjadi acuan bagi negara peserta Konferensi Asia-Afrika ? yang dimana Indonesia  menurut data bps.go.id, labbineka.kemdikbud.go.id dan,  data.kemenag.go.id memiliki 1331 kategori suku, 718 bahasa daerah, dan 6 jenis agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah dan satu agama/kepercayaan lainnya.
Indonesia menjadi acuan ?
Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia, mejadikan negara ini berbeda dengan negara lainnya. Terutama bagi pulau jawa yang menjadi tempat bagi persebaran kelompok suku terbesar seperti Jawa, Sunda, Madura, Betawi, Suku asal Banten dan, Cirebon. Akan tetapi sangat disayangkan daerah yang berpenghuni dengan kelompok suku terbesar, memiliki tingkat toleransi yang rendah. Berdasarkan survei SETARA Institute (2021), kota-kota besar seperti Depok dan Cilegon masuk ke dalam kota dengan tingkat toleransi yang terendah. Berikut skor Indeks Kota Toleran terendah: Cilegon (4,087) Rangking 92, Depok (3,577) Rangking 94 (Terakhir).Lalu apakah keberadaan suku diluar Jawa, dirasa cukup aman untuk dihuni ?.
Walaupun secara Indeks data setiap suku, ras , ataupun kelompok yang berpenghuni diluar Jawa memiliki skor yang cukup tinggi. Namun kekerasan yang dilatar belakangi perbedaan masih saja menjadi ancaman serius bagi negara ini. Melansir dari kompas.com pada awal Februari 2001 terjadi kerusuhan antaretnis di daerah Sampit yang sekaligus menjadikan konflik ini dinamakan "Tragedi Sampit". Kala itu, para transmigran asal Madura telah membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.Akibatnya, Kalimantan Tengah merasa tidak puas karena terus merasa disaingi oleh Madura. Karena adanya permasalahan ekonomi ini, terjadi kerusuhan antara orang Madura dengan suku Dayak. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura harus mengungsi dan sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.Menurut data Komnas HAM, kerusuhan antar dua etnis tersebut menyebabkan 400 jiwa meninggal dunia dari kedua belah pihak.
Tidak sampai disitu saja, terdapat kisah memilukan yang terjadi kepada pasangan suami istri kala itu. Pasca pertikaian pecah, terdapat seorang istri yang turut mengungsi ke Madura. Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak. Begitu pun ketika ia harus mengikuti suaminya, masyarakat Dayak sulit menerima. Ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suaminya tetap di kampungnya.