Bila kita lirik konteks hari ini, maka dapat dikatakan bahwa "lemahnya ikatan" kaum muda kita di daerah sulawesi utara , karena adanya ketidak seimbangan yang cukup dari sisi merealisasi kesamaan gagasan inovasi antara organisasi kepemudaan baik cipayung atau yang bukan cipayung dan organisasi kemasyarakatan yang lain dengan instansi pemerintahan.Â
Dan yang di sesalkan juga, saat ini "jumlah oraganisasi dan komunitas kepemudaan" yang banyak itu masih ada juga yang semata-mata di jadikan sebagai instrumen bargaining (akses) politik dan seringkali diekspresikan begitu sopan oleh elite maupun pemangku tahta guna memperoleh posisi struktural dipemerintahan di Sulawesi Utara.
Kejanggalan tersebut tak pantas dipersepsi sebagai "kekuatan" yang bisa dialokasikan pada hal-hal yang lebih berkemajuan dan langsung dirasakan oleh masyarakat dan seterusnya diagendakan untuk diberdayakan.
Singkatnya, jumlah yang banyak dari kaum muda terlalu semena-mena kita pandang sebagai "sumberdaya", dan sering lupa kita pikirkan bahwa dengan jumlah itu juga sesungguhnya adalah sekaligus sebagai "masalah".Â
Kalau dengan jumlah yang besar itu tidak tersegmentasi menjadi pilahan-pilahan kekuatan tangguh pada lini-lini hidup kemasyarakatan yang produktif di daerah ini, maka yang bisa terjadi adalah perjuangan keummatan yang kita lakukan akan menjadi  artifisial (semu).Â
Sebab masi ada agenda yang kita buat semata-mata dengan mengikuti keinginan dan kepentingan kita saja, sementara aspirasi mereka(rakyat proletar) tak pernah dibicarakan tanpa terlebih dahulu mempertanyakan apa yang akan kita dapatkan.
Karena itu, kuantitas elemen penggerak/kaum muda di Sulawesi Utara sudah saatnya disegmentasi sedemikian rupa dan tidak lagi dijadikan bahan wacana atau komoditi politik (terutama) ketika sebuah kepentingan atau pertarungan elite dan pemangku tahtah di daerah ini digelindingkan.Â
Tesis yang ada selama ini bahwa dengan bargaining power kaum muda yang banyak itu kaum muda bisa memperoleh "sesuatu" sudah saatnya kita hilangkan dengan menanamkan sikap kritis terhadap bebagai kepentingan yang menunggangi. Hal ini selaras dengan ajaran atau spirit dan sejarah perjuangan kaum muda itu sendiri.Â
Kaum muda (dalam sejarah kaum muda itu sendiri) yang sama frekuensi gagasan dengan para elite dan pemangku tahta, yakin pasti akan membawa kejayaan bukan karena hirup-pikuk jumlah yang banyak, tetapi pada komitmen komunalitasnya gagasan yang tampak pada Memperjuangkan kemerdekaan (hak orang banyak), etika sosial yang ditegakkannya dan rumusan-rumusan strategis lainnya.Â
Ini sungguh patut ditandaskan, sebab paradigma menunggangi  ini sudah tergolong klasik (konvensional) di Sulawesi Utara, yang justru pada level praksisnya tak pernah terbukti kebenarannya.
Saat ini, kita sudah menyaksikan bagaimana kelembagaan di masyarakat itu hadir dimana-mana dalam berbagai wajah dan bentuknya. Mulai dari yang bernama organisasi, komunitas, lembaga ekonomi, hingga partai-partai politik.Â