Mohon tunggu...
Dika Pratamax
Dika Pratamax Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tuhan Ciptakan Sepasang Mata Untuk Menelanjangi Realita , Otak Untuk Mencumbui Fikiran dan Lekukan Jemari Untuk Menjamah Isi Dunia dengan Tulisan "Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi, Mikul Dhuwur Mendhem Jero"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arogansi Buruh dan Embel-embelnya

10 Desember 2013   15:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:05 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkembangan teknologi serta perubahan arus globalisasi yang deras rupanya mampu mengubah berbagai macam sektor kebutuhan manusia. Mulai dari tatanan sosial ekonomi hingga kebiasaan hidup bermasyarakat. Perubahan tersebut terus bermunculan dikarenakan berbagai macam industri besar mulai menyerbu kawasan Asia termasuk Indonesia. Menurut Jean Fourastieseorang ekonom berkebangsaan Perancis revolusi industri pertama terjadi pada abad pertengahan ke-18 sampai 19 di daerah Eropa Barat dan Amerika Utara. Yang kemudian Inggris menjadi motor pertama dalam melakukan Industrialisasi secara menyeluruh. Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem mata pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang dimana proses modernisasi menjadi faktor utama dalam menentukan perubahan sosial serta perkembangan ekonomi yang terhubung langsung dengan kemajuan inovasi teknologi.

Indonesia sebagai negara agraris mendapatkan efek yang cukup hebat, dalam perubahan arus yang terjadi berabad-abad lalu. Dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah memungkinkan negara tropis seperti Indonesia dapat meningkatkan devisa negara melalui perkembangan sektor industrial tersebut. Apa lagi banyaknya kota-kota besar seperti Gresik, Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Lhoksumawe dan berbagai kota di Indonesia mulai bermunculan. Kawasan industri yang cukup menggiurkan untuk didatangi oleh para pencari kebutuhan sosial ekonomi yang mencoba bertaruh mendapatkan penghasilan yang lebih dibanding dengan daerah mereka berasal. Sehingga laju Urbanisasi yang membombardir di setiap kota besar di Indonesia membuat perputaran nilai kebutuhan hidup semakin menjulang tinggi. Bayangkan saja berapa juta pekerja yang bertaruh mencari pendapatan di kota Jakarta. Hampir 24 Jam Jakarta tidak pernah sepi melakukan aktivitasnya.Ketika kebutuhan akan hidup semakin meninggi maka pendapatan yang dahulu dinilai besar oleh para pekerja menjadi tidak bernilai dan selalu kurang. Sehingga kebutuhan sekunderpun sudah merubah haluan menjadi kebutuhan primer di masyarakat perkotaan.

Dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari perkembangan industri ini membuat berbagai dampak yang signifikan, mulai dari Urbanisasi masyarakat yang terpusat pada kota-kota besar, eksploitasi tenaga kerja, perubahan pada struktur keluarga sehingga bagi yang merasa berhasil dikota-kota besar para pekerja akan menetap dikota tersebut dan menjadi anggota dalam struktur warga kota yang mulai semakin padat. Meskipun Indonesia merupakan negara berkembang dengan Industri, rupanya berbagai macam faktor penghambat mulai bermunculan akibat dari arus kebutuhan akan hidup. Mulai dari keterbatasan teknologi yang banyak menyerap tenaga kerja agar dapat memenuhi kuota kebutuhan produksi, minimnya kualitas sumber daya manusia yang hanya dapat bergantung kepada pemilik modal hingga terbatasnya pemerintah dalam hal pendanaan untuk mengembangkan infrastuktur dalam bidang riset dan teknologi.

Akibat dari cepatnya laju arus perubahan tersebut membuat para pekerja yang sudah terbiasa dengan kehidupan sosial di kota besar selalu menuntut pemerintah selaku pemangku kebijakan dan perusahaan selaku tempat mereka bernaung mencari nafkah untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Faktor ketidak puasan ini yang menimbulkan para kelas pekerja menuntut perusahaan ataupun pemerintah untuk menaikan upah minimum mereka. Sehingga timbulah gelombang kelompok-kelompok yang menuntut hal tersebut.

Gelombang dari kelompok-kelompok ini biasanya kerap memfasilitasi para pekerja untuk menuangkan aspirasi yang terkadang cenderung menimbulkan gesekan dengan pemerintah biasanya kelompok-kelompok yang melabelkan dirinya sebagai serikat atau persatuan kelompok pekerja ini kerap melakukan komunikasi politik dengan pemangku kebijakan. Tak khayal seperti melakukan aksi dijalan rayadengan berkonvoi menggunakan kendaraan roda dua serta melakukan sweeping keperusahaan-perusahaan untuk menggalang massa aksi. Akibat dari gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini menimbulkan kemacetan yang sangat mengejutkan, bagaimana tidak buruh atau dalam hal ini kelas pekerja tidak memiliki bekal mengenai bagaimana managemen aksi mengenai kondisi di lapangan ketika berhadapan dengan pihak berwajib. Sehingga acap kali terjadi bentrokan/clash yang merugikan berbagai pihak. Komunikasi politik yang acak-kadut selalu saja dipertahankan oleh kelompok-kelompok tersebut.

Dalam buku “Political Communication and Public Opinion in America” karya Dan Nimmo. Dalam melakukan komunikasi politikseharusnya kelompok-kelompok yang melabelkan dirinya sebagai serikat maupun persatuan mengetahui bagaimana proses komunikasi dapat berjalan dengan baik. Kelompok-kelompok tersebut harus mengetahui bagaimana menyajikan pesan kepada pemangku kebijakan, bagaimana memanfaatkan saluran-saluran dalam kaitan ini seperti media masa ataupun penggunaan komunikator yang cukup mampu menggoyahkan suatu kebijakan dalam kursi pemerintahaan seperti politikus, kalangan profesional maupun aktivis sehingga dapat menambah validitas data yang dialami oleh para kelas pekerja. Penggunaan retorik yang baik juga cukup ampuh sehingga pesan dapat tersampaikan lebih jelas. selain itu pemanfaatan media secara persuasif juga dapat menjadi senjata untuk melakukan komunikasi politik.

Sudah tidak lagi kelompok kelas pekerja yang dimotori oleh persatuan maupun serikat menggunakan jalur yang berujung pada perbuatan vandalism/perusakan fasilitas umum dengan melakukan konvoi tanpa menghiraukan keselamatan berkendara, membakar ban yang menimbulkan dampak polusi pada kualitas udara, serta penggunaan emisi gas berlebihan dengan konvoi beramai-ramai. Sebaiknya dalam melakukan aksi para kelas pekerja menggunakan cara yang lebih elegan dan diplomatis seperti melakukan audiensi yang persuasif dengan pembuktian hitam diatas putih sehingga menimbulkan win-win solution bagi kedua belah pihak. Serta pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus mampu mengawasi jalannya roda hubungan antara perusahaan dengan kelas pekerja dalam istilah ini bisa disebut dengan Tripartit. Tripartit sendiri adalah istilah dalam melakukan perundingan antara para pihak yang bersengketa dalam perselisihan hubungan industrialdengan difasilitasi oleh pihak ketiga yang dianggap netral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun