Mohon tunggu...
Indra Fredika
Indra Fredika Mohon Tunggu... Lainnya - Asisten Advokat

Asisten Advokat di Lembaga Bantuan Hukum Ansor Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu

8 Maret 2023   12:49 Diperbarui: 9 Maret 2023   12:27 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini publik dibikin bingung oleh Putusan Pengadilan Jakarta Pusat dengan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang mana dalam salah satu amar putusannya menyatakan bahwa "menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan".  Dengan kata lain apabila putusan tersebut nantinya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde), maka putusan tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan dan/atau menunda pelaksanaan pemilu.

Sontak Putusan tersebut menimbulkan kontroversi dan kegaduhan publik, bahkan tak sedikit ahli hukum yang mengkritik seolah-olah Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst telah kehilangan marwahnya, yakni sebagaimana asas res judicata pro veritate habetur (putusan hakim dianggap benar) dan asas ius curia novit (hakim dianggap tau hukumnya).  Secara teori, memang putusan hakim harus dihormati dan dianggap benar sampai ada putusan hakim yang lebih tinggi membatalkannya. Akan tetapi, untuk putusan kali ini  sangat layak sekali untuk diberikan anotasi agar tidak menjadi preseden buruk kedepannya. 

Mengapa saya katakan sangat layak, setidaknya ada 3 faktor yang mendorong Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst layak untuk diberikan anotasi, yakni sebagai berikut:

Pertama, putusan hakim tersebut telah melampaui kewenangan dan kompetensi dalam mengadili (ultra vires), apabila dicermati objek gugatan yang diajukan oleh Partai Prima adalah terkait dengan Sengketa Proses Pemilu, sehingga tidak tepat jika diputus pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 466 UU Pemilu, sengketa proses meliputi sengketa yang terjadi antara Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 467 UU Pemilu, penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu sesuai dengan tingkatannya. Sedangkan jika para pihak tidak terima dengan hasil pemeriksaan Bawaslu (khusus yang berikaitan dengan ketentuan Pasal 469 ayat 1), maka dapat mengajukan upaya hukum di PTUN. 

UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah mengatur dan membagi kerangka penegakan hukum menjadi 2 jenis, yakni pelanggaran dan sengketa. Pelanggaran di dalam UU Pemilu dibagi menjadi 3 jenis yaitu Pelanggaran Administrasi (yang memeriksa Bawaslu), Pelanggaran Etik (yang memeriksa DKPP) dan Pelanggaran Pidana (yang memeriksa Gakkumdu  - PN). Sedangkan sengketa terbagi menjadi 2 yaitu Sengketa Proses (yang memeriksa Bawaslu - PTUN) dan Sengketa Hasil (yang memeriksa MK).

Kedua, amar putusan majelis hakim adalah keliru, mengingat salah satu karakteristik putusan perdata PMH adalah hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara dan pihak ketiga (itupun jika ada). Sehingga seyogyanya amar putusan perkara perdata PMH tidak boleh mengikat secara umum (erga omnes), apalagi sampai menunda agenda publik dan kenegaraan. Oleh karenanya, jelas amar Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst sulit untuk dilaksanakan (non-executable).

Ketiga, Pengadilan Negeri tidak berwenang menunda Pemilu, bahkan UU Pemilu tidak mengenal adanya Penundaan Pemilu. Pasal 433 UU Pemilu hanya mengatur tentang pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Pemilu lanjutan adalah untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan. Sedangkan Pemilu susulan adalah untuk melaksanakan semua tahapan pemilu yang tidak dapat dilaksanakan. Penetapan pemilu lanjutan dan Pemilu Susulan dilakukan oleh KPU sesuai dengan tingkatan (jelas bukan dengan putusan pengadilan). Sedangkan khusus untuk Penetapan pemilu lanjutan dan pemilu susulan secara nasional dilakukan Presiden atas usul KPU RI.

Sekali lagi, tulisan ini hanya bersifat anotasi dan tidak bermaksud mengintervensi putusan hakim, mengingat dalam peradilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur. Oleh karenanya, instrumen yang dapat digunakan untuk melawan dan mengkoreksi Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, adalah upaya hukum Banding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun