Konflik yang terjadi antara masyarakat lokal melawan pengusaha dan pemerintah daerah dalam medan perebutan, penguasaan, atau perlindungan sumber daya alam (local asset)merupakan konflik klasik yang tampaknya akan terus terjadi selama batas-batas definisi sumber daya lokal, berikut hak-hak serta aturan mainnya, belum tuntas dipahami atau didiskusikan oleh semua aktor yang terlibat dalam lingkaran konflik tersebut. Akibat ketidakjelasan ini, maka orang-orang yang merasa memiliki hak atas sumber daya terus bermunculan dengan berbagai dalih dan pembenarannya. Satu pihak merasa berkuasa karena memiliki dokumen sah dari insitusi penegak hukum, ada juga yang merasa berkuasa karena alasan politik, serta ada juga yang merasa berkuasa karena alasan historis yang panjang.
Semua dalih dan pembenaran untuk menguasai dan memanfaatkan suatu sumber daya ini tentu akan selalu memantik api konflik yang tak kunjung padam sebab semua pihak memiliki definisi masing-masing tentang siapa yang berhak menguasai dan siapa yang tidak. Ujung-ujungnya, konflik semacam ini selalu dimenangkan oleh kolaborasi pihak yang paling kuat, yaitu perusahaan dan pemda. Sementara rakyat lokal terus menerus menelan pil pahit kekecewaan dan pada akhirnya harus terusir dari wilayah sumber daya. Untuk mengatasi masalah seperti ini, maka obyektifitas dalam menentukan hak serta tanggung jawab atas suatu sumber daya hendaknya menjadi prioritas sebelum kita mengambil keputusan akan ke pihak siapa suatu sumber daya diberikan secara penuh. Terkait dengan konflik “rebutan” sumber daya ini, ijinkan saya menyodorkan dua contoh kasus tentang bagaimana konflik SDA tersebut berlangsung, apa substansi konfliknya, dan bagaimana teori Common Property Resources(CPrR) melihat ini dalam kacamata yang empiris dan ilmiah.
Contoh pertama adalah konflik terbaru yang terjadi pada akhir tahun 2016 sampai awal 2017 kemarin, yaitu konflik antara pabrik semen (corporation) dengan para petani (local community). Obyek sengketa adalah proyek pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan kendeng, Rembang, Jawa Tengah, yang juga merupakan spot barisan pegunungan batu kapur (karst). Dalam konflik ini, rakyat (petani lokal Kendeng) menuntut agar pembangunan pabrik semen segera dihentikan karena disinyalir akan menghancurkan lingkungan serta menguras sumber daya air di wilayah tersebut. Sementara perusahaan dan pemda tetap bersepakat akan melanjutkan proyek pembangunan pabrik dengan ijin baru yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini diwarnai dengan aksi demonstrasi dengan cara mengecor kaki dengan semen oleh beberapa peserta yang sebagian besarnya adalah Ibu-Ibu yang dilakukan di depan istana merdeka guna menarik perhatian sekaligus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut izin proyek pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di wilayah mereka. Dalam aksi ini, terjadi satu insiden yang memilukan, dimana Ibu Patmi (48 tahun), salah seorang ibu yang ikut dalam rombongan demo, meninggal dunia usai melakukan aksi demonstrasi. Di duga yang bersangkutan meninggal karena terkena serangan jantung setelah kelelahan yang sangat ekstrem. Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada solusi yang tepat untuk memecah kebuntuan atas konflik yang terjadi ini.
Contoh kedua adalah konflik yang terjadi antara petani (local community) berhadapan dengan perusahaan (Corporation) air mineral ternama di Indonesia di daerah Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah, pada tahun 2012. Obyek sengketa adalah perusahaan air mineral yang beroperasi di wilayah pegunungan Karangdowo yang juga merupakan area sumber air bagi masyarakat lokal. Petani (local farmers) mendesak agar perusahaan air mineral tersebut segera menghentikan operasinya sebab akan menguras sumber daya air yang selama bertahun-tahun telah menjadi pusat sumber air untuk kebutuhan mereka, sementara perusahaan bersikukuh akan tetap berada di sana karena mengaku sudah mendapat izin operasional dari pemerintah lokal untuk “menambang” air dari pegunungan tersebut. Konflik “rebutan” air ini terus berlanjut selama kurang lebih setahun penuh tanpa ada resolusi yang pas antara kedua belah pihak yang berkonflik.
Dari dua contoh kasus di atas, kita mendapatkan beberapa kesamaan di antara keduanya, yaitu sama-sama menjadikan sumber daya sebagai obyek sengketa serta melibatkan aktor-aktor yang sama pula, yaitu petani/masyarakat (local community), pemerintah (government), dan perusahaan (corporation). Polanya adalah corporation mengokupasi suatu sumber daya (local asset) di suatu wilayah dengan dukungan hukum dari government, sementara local community terganggu dengan upaya okupasi tersebut, yang akhirnya memunculkan perlawanan (fightback). Konflik sumber daya semacam ini memiliki titik sumbu pada status sumber daya, yang karena batas-batas hak dan kewajibannya yang tidak jelas sehingga menjadikan konflik SDA seperti ini semakin tiada habisnya.
Common Property Resourcesdan Kedaulatan Petani
Terkait dengan dua konflik di atas, saya ingin mengajukan pandangan berdasarkan perspektif keilmuwan dari sisi teori Common Property Resources (CPrR) sebagai basis pemikiran untuk mengkonstruksi batas-batas definitif suatu sumber daya. Konstruksi teori ini lahir dari sebuah pengalaman empiris yang bertujuan untuk memetakan hak dan tanggung jawab atas suatu sumber daya pada suatu wilayah khusus yang didalamnya hidup satu atau beberapa kelompok masyarakat yang interaksi kehidupannya sangat intentsterhadap sumber daya, sehingga antara mereka (masyarakat lokal) dan sumber dayanya memiliki hubungan yang kuat secara kultural yang tidak bisa terabaikan begitu saja.
Common Property resources (CPrR) atau Common pool resources (CPR) adalah sebuah rangkaian teori yang pernah dikemukakan oleh Oekerson (1989) dan Singh (1994) untuk menegaskan kembali bahwa sumber daya tertentu yang berasal dari alam merupakan hak milik bersama sebuah masyarakat dan tidak boleh dibagi kepada yang bukan komunitasnya. Kepemilikan ini bersifat kultural dan definitif sehingga segala manfaat dari SDA tersebut seharusnya menjadi hak bersama untuk seluruh rakyat lokal di wilayah itu. Dalam pengertian yang lebih luas, teori ini dimaksudkan untuk memperjelas hak-hak rakyat terhadap sumber daya alam tertentu dimana masyarakat itu hidup dan berkembang. Karena rakyat berdaulat penuh terhadap sumber dayanya, maka penggunaan sumber daya alam harus diorganisir, dikelola, dan didistribusikan oleh institusi lokal yang pembentukannya diinisiasi oleh masyarakat lokal itu sendiri, di mana institusi tersebut akan bertugas mengatur mekanisme penggunaan dan penerimaan manfaat dari sumber daya alam secara proporsional, kolaboratif, dan adil.
Dari kasus pabrik semen dan perusahaan air mineral di atas, dengan bersandar pada persepektif teori CPrR ini, maka bisa dikatakan bahwa sumber daya air dan produk tambang yang ada diwilayah Kendeng maupun yang ada di Karangdowo, Jawa Tengah merupakan hak milik masyarakat sekitar yang peruntukkannya haruslah memprioritaskan aspirasi mereka. Hadirnya pihak ketiga yang akan mengeksploitasi SDA di wilayah tersebut haruslah memahami aspirasi masyarakat lokal dengan mengedepankan prinsip kesejahteraan, keberdayaan, serta keberlanjutan sumber daya sehingga Common Property Resources (CPrR) itu benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal, bukan sekedar manfaat sisa atau “basa-basi” kepedulian yang hanya menipu dan bersifat seremonial belaka.
Lebih dari itu, perusahaan, dan juga pemda yang sering berada dibelakangnya. sebaiknya menghormati kedaulatan dan hak-hak warga lokal atas sumber dayanya sendiri dengan tidak sering melakukan pendekatan hukum yang kaku dalam menghadapi persoalan seperti ini. Selain tidak menarik, pendekatan hukum yang kaku akan menuai aksi tidak simpatik terhadap perusahaan dan pemda yang pada akhirnya akan sangat merugikan kedua belah pihak. Membangun hubungan dengan rakyat lokal melalui musyawarah dan dialog merupakan pendekatan yang tepat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak rakyat atas sumber daya tidak hilang begitu saja akibat hadirnya industri ekspansif di wilayah mereka. Dalam hal ini, pemerintah daerah harusnya memposisikan diri sebagai penengah yang baik, bukan justru menjadi provokator konflik dan memihak pada sisi yang lebih kuat.
Common Property Resources (CPrR)hendaknya menjadi sesuatu yang mesti diatur dalam Undang-Undang khusus demi melindungi dan memperkuat kedaulatan rakyat atas sumber dayanya sendiri. Hal ini penting dilakukan mengingat masih maraknya kasus perampasan sumber daya oleh perusahaan dengan dalih kepemilikan secara hukum, sehingga membuat masyarakat sering terusir dari wilayahnya sendiri tanpa memperoleh sedikitpun manfaat dari sumber daya lokalnya. Sudah saatnya negara dan korporasi lebih melihat sumber daya sebagai satu kesatuan yang utuh dengan masyarakat lokal didalamnya dan tetap membiarkan rakyat berdaulat penuh terhadap sumber dayanya sendiri.