Mohon tunggu...
Dika Raihan Batara
Dika Raihan Batara Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bimbingan dan Konseling

kuda hitam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya Flexing bagi Kesehatan Mental

2 November 2023   20:01 Diperbarui: 2 November 2023   20:05 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pamer harta di media sosial seringkali dilakukan oleh kalangan pebisnis baru atau yang disebut Crazy Rich. Crazy Rich adalah istilah Bahasa Inggris yang berarti super kaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Crazy Rich artinya orang yang kaya gila, kata kaya berarti mempunyai banyak harta, sedangkan kata gila berarti gangguan jiwa atau tidak sebagaimana mestinya  Dengan demikian, istilah kata kaya gila dapat dimaknai dengan mempunyai banyak harta. Para Crazy Rich seringkali mengumbar kekayaanya melalui media sosial, dengan cara memamerkannya. Selain secara individu, konten flexing yang disiarkan oleh para Crazy Rich menjadi fokus utama media mainstream untuk berlomba-lomba menayangkan serta membuat program yang memfasilitasi para Crazy Rich ini untuk melakukan flexing atau mengumbar kekayaannya.

Flexing atau pamer merupakan hal yang sudah menjadi hal umum dikalangan masyarakat terutama di media sosial. Menurut Windyaningrum dkk. (2022),  flexing adalah bentuk konten informasi untuk menarik perhatian masyarakat. Istilah flexing atau memamerkan kekayaan, menurut Cambridge Dictionary (2013), flexing adalah memamerkan sesuatu yang dimiliki atau digapai tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Sedangkan menurut kamus Merriam-Webster  dalam Windyaningrum dkk. (2022), flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok. Lalu, flexing yang ramai di media sosial, menurut Kasali (dalam Lathifatuddini, dkk, 2022) bertujuan untuk marketing. Kasali menjelaskan dalam kaitan dengan bisnis, masyarakat cenderung mempercayai orang-orang yang menunjukkan kekayaan mereka (Lathifatuddini, dkk., 2022). Kesuksesan pembisnis tersebut melalui flexing mengkokohkan kepercayaan para investor atau siapapun yang berniat untuk terlibat dalam bisnis yang dijalani, dengan harapan para investor atau masyarakat juga akan mampu mencapai kesuksesan tersebut. Flexing semakin mudah terlihat karena adanya media sosial. Media sosial memberikan tempat untuk orang orang melakukan flexing ketika memiliki sesuatu untuk dipamerkan. Secara online, orang juga ingin dikenal sebagai seseorang yang mempunyai kekayaan, menarik secara fisik, cerdas, dan populer.

Menurut Pohan dkk. (2023), flexing merupakan  kata  gaul  yang  berasal  dari  Amerika yang  memiliki arti suka menampilkan  diri sendiri dengan menonjolkan keglamoran, kelimpahan maupun kekayaan yang dimiliki seseorang. Banyak sekali kita  menemukan  seseorang  yang  membangun  personal  branding  atau  citra  dirinya  dengan  cara  memamerkan harta  yang ia  miliki ( Ketut Putu & Sinarwati, 2022:2). Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan kita sebagai upaya menarik perhatian publik. Fenomena flexing terjadi karena ada rasa ingin populer sehingga menggunakan cara pamer agar dikenal  oleh  khalayak.  

Menurut Pakpahan dan Yoesgiantoro (2023), flexing sudah menjadi kebiasaan baru dalam mempertontonkan kemewahan dan gaya hidup melalui unggahan foto, video di media sosial; instagram, tiktok, facebook, yotube dan yang lainnya. Flexing semakin fenomenal dengan adanya persepsi bahwa kekayaan dan gaya hidup hedonis atau glamor mampu meningkatkan status sosial, kehormatan dan prestise di masyarakat.

Saat  ini  pamer  bukan  hanya  hal  yang  bersifat  nyata  namun  sudah  bercampur  dengan kebohongan. Isi komten yang dipublikasi belum tentu sama dengan realita. Namun hal tersebut adalah salah satu cara agar menaiknya popularitas. Cara pamer dan bentuk-bentuk polularitas yang ingin dituju oleh pengguna tidak selalu sama tergantung dengan tujuan masing-masing. Parahnya, flexing tidak  memandang  aturan  agama  melainkan  fokus  pada  tujuan  utama  yaitu  untuk popularitas. Semua agama menjelaskan untuk jauhi sifat pamer karena akan mebawakan pada keburukan. Pengguna media sosial  saat  ini  terlalu  mementingkan  keperluan  diri  sendiri  sehingga  tidak  memikirkan  apa yang  seharusnya  dilakukan  untuk  memberikan  dampak  positif  bagi  pengguna  media  sosial  lain. Pengguna  media  media  sosial harus memberikan  edukasi  pada  pengguna  lain  agar memunculkan dampak  positif  bagi kedua belah pihak.

Dalam berinteraksi, setiap orang pastinya tidak akan bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan tentunya orang-orang yang berada di lingkungan tersebut memilki pengaruh yang benar benar signifikan. Gaya hidup yang dimiliiki seseorang menyajikan segala sesuatu saat berinteraksi didunia nyata maupun didunia maya. Terdapat dua aspek yang berdampak pada gaya hidup seseorang yaitu aspek yang berasal dari dalam diri masing-masing orang (internal)  dan  aspek  yang  berasal  dari luar  diri  (eksternal)  individu  tersebut (Pohan dkk., 2023).  Aspek internal yaitu sikap, pengalaman dan pengamatan seseorang, kepribadian, konsep diri dan persepsi.

 Berikut penjelasan mengenai aspek-aspek internal:

Sikap.

 Sikap merupakan keadaan dari dalam diri setiap individu yang muncul berdasarkan apa yang ditanam dalam diri.  Seperti  membaca  koran  atau  majalah  maka  sikap  yang  akn datangl  diiringi  dengan pengetahuan (Gasong, 2018:165). Sikap setiap orang dapat didefinisikan sebagai cara pandang orang tersebut dalam melihat sesuatu. Cara pandang ini bisa terpengaruh oleh pengalaman dan wawasan. Sebuah budaya yang hidup diantara kita juga menjadi komponen dalam mempengaruhi sikap seseorang. Lingkungan sekitar juga  memiliki pengaruh  yang  sangat  penting terhadap kebiasaan seseorang dalam membentuk sikap. Ketika kita berhadapan dengan orang yang berlaku flexing, maka akan menular bagi semua orang disekitarnya. Oleh karena itu perlu filterisasi dalam bersosialisasi.

Pengalaman dan peninjauan.

Pengalaman setiap orang akan berbeda berdasarkan latar belakang. Pengalaman dari setiap orang bisa memberi pengaruh tentang cara pandang orang lain  terhadap  sesuatu.  Fenomena flexing dilihat secara berbeda melalui sudut pandang setiap orang. Ada  yang menganggap flexing bisa mewujudkan dampak positif dan ada  juga  yang beranggapan bahwa flexing dapat memberikan dampak negatif sehingga ada seseorang yang melakukan flexing dan ada yang tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun