[caption id="attachment_199285" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi. mrpram.blogspot.com"][/caption] Malam hari lalu saya berkesempatan ngobrol dengan seorang dosen, ia bercerita karir mengajarnya di perguruan tinggi yang penuh dengan persaingan tak sehat. “Yang minoritas selalu tertindas, nah saya ini orang minoritas” Katanya seraya tertawa. Dia merasa terpinggirkan serta dipersulit di tempat mengajarnya itu. Alasannya pun sederhana, hanya karena tidak termasuk dari golongan mayoritas. Dia bercerita, bahwa seseorang yang menurutnya belum teruji loyalitasnya di perguruan tinggi itu, tapi dengan mudah mendapatkan posisi yang strategis di sana. karena orang itu bagian mayoritas tersebut. Mungkin praktik semacam itu bisa diistilahkan dengan Nepotisme. Memberikan kedudukan kepada orang-orang yang se-identitas, se-golongan, atau se-kerabat dengannya. Bangsa ini mencatat, salah satunya bagaimana Orde Baru melakukan praktik Nepotisme. Pada waktu itu dia memasukkan kerabat, saudara, serta teman dekatnya untuk mengisi pos-pos jabatan di bangku pemerintahan. Tapi di antara kita tak dapat menafikan hal itu, dan mungkin tak menolaknya pula, andaikan berada dalam kondisi yang seperti itu. Sama halnya dengan korupsi, banyak orang yang berkoar-koar turun ke jalanan, namun ketika dihadapkan pada poisisi yang mengenakan apalagi ditambah dengan kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini, dengan diam-diam terpaksa menerimanya. Mendengar cerita dosen itu rasanya kondisi saat ini tak jauh berbeda dengan masa-masa Orba. Saya teringat perkataan, jika sebuah instansi pemerintah atau swasta yang sudah dikuasai golongan tertentu, sulit bagi yang lain untuk bisa ‘masuk’ di sana. Akhirnya keluar ungkapan , “sekarang kalau gak punya orang dalam atau kenalan maka susah untuk masuk ke lembaga ini dan lembaga itu”. Jadi, rasanya percuma saja memiliki kompetensi yang tinggi jika pada akhirnya yang menentukan hanyalah identitas-identitas tersebut. Bila sesuai maka boleh masuk, tapi bila tidak maka coba lain kali. Memang sudah lumrah, dan menerimanya sebagai suatu kewajaran. Menurut saya, praktik seperti itu mengurangi nilai profesionalisme dan tidak menghargai kompetensi seseorang. Sebab yang menjadi ukuran adalah sebuah kedekatan. Teringat hadits Nabi SAW, bila kedudukan dipegang oleh bukan orang yang sesuai dengan bidangnya, maka tunggulah kehancurannya. Kehancuran yang terjadi karena tak tahu cara mengendalikan posisi, serta tak mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Satu contoh, ketika seorang guru yang kurang kompeten, dalam arti tidak memliki kecakapan mengajar, tidak menguasai metode pengajaran, pengelolaan pengajaran serta pengelolaan kelas dan lain-lainnya, disuruh mengajar kelas. Maka hasilnya merugikan peserta didik itu sendiri, disebabkan siswa tak mampu menyerap dengan baik ilmu-ilmu yang diberikan dan hasilnya kualitas anak didik rendah. Karena kecakapan guru yang tidak memiliki kompetensi itu. Allah SWT sendiri melalui al-Qur’an menghendaki orang-orang yang berada di sisinya dengan syarat memiliki ketaqwaan. Posisi itu tak diberikan bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan seperti yang telah ditetapkan. Memunculkan sebuah persaingan secara sehat, yang semata-mata mengandalkan kemampuan dan tidak mengandalkan yang lain. Pada akhir perbincangan dengan lelaki tua itu, tiba-tiba ia menganjurkan saya untuk bersegera menjadi bagian dari yang mayoritas itu. “sekarang jamannya udah beda, gak apa-apa melakukan itu, sulit kalau jadi minoritas. Sering ditindas,” ungkapnya sambil tertawa. Lantas saya hanya tersenyum, dalam hati saya sendiri masih mempertimbangkannya “sepertinya menggiurkan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H