Mohon tunggu...
Dika Irawan
Dika Irawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hati-hati bisa berhenti mendadak. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Kopiku Kopi Hitam

25 November 2012   11:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:42 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala puyeng, pandangan burem, dan pikiran mumet. Segera lah saya mencari kopi, saat diseruput, waw pikiran terasa terang, dan Monas terlihat di depan mata. Begitulah kopi menjadi teman keseharian saya, menemani saat duduk sendiri, saat ngobrol bersama teman atau keluarga.

Saya sendiri tidak begitu suka kopi susu, kopi mocca, kopi jahe, dan kopi lainnya yang dicampur. Subyektif saya, kopi hitam adalah kopi yang esensial. Ia menampilkan jati dirinya yang berwarna hitam, dan pahit dari aspek rasanya. Namun ketika kopi hitam itu dicampur dengan unsur  lain, maka hilang lah esensinya.

Meminjam teori Tabularasa, John Locke saat lahir manusia seperti kertas kosong tanpa aturan untuk memrosesdata, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya (Wikipedia.com). Sama halnya dengan kopi hitam sama seperti kertas kosong, rasanya yang pahit  warnanya hitam. Namun ketika berada di tangan penikmatnya kopi hitam itu menjadi kopi susu, kopi moka, kopi jahe, dan lainnya.

Kemudian sejak kecil saya akrab denga kopi hitam, dimulai dari kakek yang biasa menikmati kopi sebelum berangkat, dan saat pulang dari sawah. Kakek pun sering mengajak saya menikmati kopi,dengan menuangkannya pada piring kecil. Ketika ayah hendak berangkat berdagang ke pasar, beliau selalu mengajak saya mampir di warung kopi menikmati kopi hitam.

Karena itu lah saya sangat akrab dengan kopi hitam terlepas apa pun merk-nya. Meski saat ini banyak kopi yang menampilkan berbagai macam rasa, pilihan saya tidak akan berubah tetap menikmati kopi hitam sebagai kopi yang esensial.

Sementara itu, mempadukan antara kopi hitam dan gula sangat sulit, sudah berkali-kali saya mencoba tidak berhasil. Rasa yang dihasilkan tidak seimbang, kadang terlalu manis, atau pahit. Mencampur gula denga kopi tidaklah menghilangkan esensinya melainkan berfungsi sebagai penyeimbang. Tuhan pun mengajarkan bagaimana menggunakan keseimbangan dalam menciptakan semesta. Keseimbangan diperlukan dalam hidup agar stabil, tidak setengah-setengah apalagi labil kayak anak jaman sekarang.

Saat meracik kopi, saya memiliki kebiasan memasukan kopi terlebih dahulu kemudian baru diikuti gula. Alasannya, kopi yang pahit itu saya tafsirkan pahitnya hidup, harus diselesaikan di awal. Setelah itu barulah menikmati manisnya hidup, bagai gula yang dimasukan setelah kopi. Seperti kutipan lagu Rhoma Irama “Berakit-rakit dahulu berenang ketepian, sakit-sakti dahulu, susah-susah dahulu, baru kemudian bersenang-senang”. Ups saya tidak bermaksud mendukung Rhoma nyapress, hanya sebagai fans.

Selanjutnya, kopi hitam tanpa gula tentu rasanya sangat pahit. Sama seperti harapan yang terkadang tidak sesuai kenyataan. Begitu pun bagi penikmat kopi, kadang dihadapkan pada tuntutan tidak adanya gula di toples, yang ada hanyalah kopi. Oke lah, bagi yang memiliki uang akan beli gula, tapi bagi yang tidak seperti anak kos, curhat nih ceritanya, di sinilah dipertaruhkan keidealisannya sebagai penikmat kopi sejati. Apakah mau tetap menikmati kopi walau pahit, atau tidak sama sekali. Pada akhirnya, selamat menikmati kopi hitamnya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun