Mohon tunggu...
Meldina Ariani
Meldina Ariani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Mulawarman, Samarinda

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Untuk Belajar...

6 Mei 2014   08:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih dalam suasana Hardiknas (loh, masih?) semoga tidak terlambat untuk saya berbagi kisah dengan kawan sekalian :).

Ditengah kebosanan dalam agenda rapat di hari pendidikan waktu itu. saya masih sempat menyaksikan tayangna televisi yang menggambarkan keadaan suatu daerah yang masih asli dan jauh tertinggal dari perkembangan teknologi saat ini. Sebut saja itu pulau B, (saya tidak ingin disebut rasis) hehe. dan kebetulan kawan yang duduk disamping saya adalah suku asli pulau B tersebut. Saya pun mulai membuka forum didalam forum, bertanya mengenai keadaan yang ada dipulau itu, apakah benar disana sangat jauh tertinggal? mulailah dia bercerita panjang lebar,

Dari sekian banyak yang disampaikan kawan saya tersebut, bisa disimpulkan bahwa memang, suku B ini masih banyak yang kurang sadar pendidikan, sehingga perkembangan daerahnya juga menjadi lamban dan pertumbuhan ekonomi mereka juga lamban. Memang, kalau saya ingat-ingat, sejak saya sekolah TK hingga saya kuliah saya baru memiliki satu orang teman dari suku mereka. di Kalimantan mungkin mereka menjadi kaum minoritas dan faktanya, didaerah asal saya terkadang mereka menjadi bahan lelucon karena dari segi "bentuk" mereka lebih mirip orang Timur, sedikit lebih gelap.

Tapi dibalik itu semua, kita bisa belajar banyak hal jikalau saja kita mau sedikit lebih membuka mata dan memahami apa yang mereka kerjakan. Mereka termasuk orang-orang yang mau berusaha memperbaiki hidup, mereka rajin dan pekerja keras, selagi apa yang mereka kerjakan itu baik dan mampu menghidupi keluarga mereka.

Sedikit yang saya ingat dari cerita pilu kawan saya tersebut. Orangtuanya dulu adalah perantau yang lari dari kampung karena terjadi perang suku disana. Lalu sesampainya di Kalimantan, mereka hanya mampu menanam singkong karena tidak mampu membeli bibit tanaman lain, mereka hidup di Gunung karena tanah gunung lebih murah. Mereka juga sering kali dipandang sebelah mata oleh oranglain, "dianggap bodoh, bau dan miskin itu sudah biasa", ujarnya.

Namun mereka tidak pernah mau peduli dengan perkataan menyudutkan tersebut, hal itu malah menjadi sebuah cambukan untuk mereka merubah diri, mereka mulai sadar akan arti pendidikan, mulai memperbaiki kehidupan dengan memasukkan anak mereka ke sekolah. meskipun hanya hidup dari berjualan singkong, mereka mampu membiayai sekolah anak mereka hingga sarjana.

Dan itu terbukti, kawan saya ini orang yang cerdas sekali. Beberapa keluarganya juga menduduki peran strategis di suatu instansi, tentunya bukan dengan cara yang instan, memulai karir sebagai Office Boy (OB) sejak duduk disemester awal kuliah tampaknya membuahkan hasil yang manis.

Dari sini mungkin kita bisa mengambil hikmah bahwa tidak semua orang yang terlihat bodoh akan selamanya bodoh. Dia bahkan bisa lebih pintar dan baik ketika kita sedang sibuk mengumbar kebodohan mereka, sementara orang itu sibuk memperbaiki diri. Sebuah kesuksesan yang manis tidak pernah didapat dengan usaha yang minimalis. Perlu usaha keras jika ingin berada diatas.

*Semangat Berbagi dan Menginspirasi*

Follow us @UjurUnmul @diina_aj

UKM Jurnalistik Universitas Mulawarman

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun