Ketika saya dahulu masih bersekolah, saya hampir selalu dapat prestasi bagus, hampir selalu juara kelas dan hampir selalu jadi ketua kelas walaupun bukan karena dipilih secara demokratis, melainkan selalu ditunjuk Wali kelas.
Dahulu ketika saya bersekolah, ada istilah "10 besar" yaitu anak murid dengan urutan 10 nilai rata rata tertinggi di kelas dari sekitaran 42 murid setiap kelas.
Dari istilah "10 besar" ini, kemudian ada 32 murid yang lain yang tidak masuk golongan ini dan ternyata mereka adalah mayoritas.
32 murid yang tidak masuk golongan "10 besar" ini kemudian melanjutkan hidupnya bersama dengan golongan "10 besar", maka tibalah waktunya reunian dan kita saling "sawang sinawang" saling memperhatikan satu sama lain. Saling menakar perolehan apa yang telah kita dapat (waktu itu reuni 30 tahun lulus SMA). Apalagi kemudian banyak murid yang dahulu tidak diperhitungkan, ternyata jadi orang sukses dan kaya.
Seorang teman menghampiri saya, lalu bertanya sudah jadi apa saya sekarang, kamu kan murid yang selalu disayang guru waktu sekolah (waktu itu tahun 2023). Saya katakan saya pengangguran sejak Covid 19 melanda (2020), saya bangkrut, saya cuma jadi seorang "Pengacara" (Pengangguran banyak acara) karena saya adalah seorang Ketua RW dilingkungan saya. Kawan saya itu tak memberi tanggapan apapun, mungkin dia tahu untuk jadi seorang ketua RW dua periode pada sebuah lingkungan, merupakan sebuah prestasi juga.
Dari peristiwa ini saya sadari sesuatu, bahwa ada "dendam" dalam diri kawan saya tentang murid "10 besar" tadi dan dendam ini termanifestasi dalam alam bawah sadar mereka ketika tampil seorang "Ndeso", kurus, cuma baca komik, sebagai sebuah bentuk perlawanan atas apa yang mereka rasakan disaat muda mereka yang mereka dukung habis habisan untuk menang.
Sebuah perlawanan struktural terhadap "kaum 10 besar", bahwa mereka yang tidak termasuk golongan tersebut, ingin membuktikan bahwa yang diluar "10 besar" ternyata mereka mampu menentukan jalannya sejarah sebab mereka adalah mayoritas. Mereka berharap adanya perubahan, perubahan yang dikomandoi seorang pembaca komik yang ijazah sarjananya sampai saat ini masih diperdebatkan.
Ketika anak anak saya disekolahkan di sebuah SDIT, tidak ada yang namanya urutan prestasi di kelas, padahal saya ingin tahu seberapa kemampuan mereka dalam memahami apa yang diajarkan di sekolah. Pihak sekolah memberikan penjelasan bahwa hal tersebut tidak diperlukan lagi dengan penjelasan tentang IQ, EQ dan SQ dan yang terpenting adalah Akhlak yang baik (Pak Mulyono terbukti kurang berakhlak, wkwkwk...). Alhamdulillah dunia sudah berubah.
Setiap generasi memiliki alam bawah sadarnya sendiri. Mari ciptakan alam bawah sadar sebuah generasi yang lebih baik. Semoga Indonesia Kita tambah cerdas kedepan. Aamiin
Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H