Mohon tunggu...
Digna M. Rismauli
Digna M. Rismauli Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bisa menjadi apa saja, kecuali menjadi Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sayakah Ibu Generasi Mendatang?

16 Desember 2012   18:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:32 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355695539286611857

[caption id="attachment_229939" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (KAMPRET/Tri Lokon)"][/caption]

Saya, Ibu, enam atau delapan tahun mendatang.

Rasanya kurang pantas bertanya-tanya bagaimanakah menjadi ibu yang baik, sementara saya masih menggumuli semester 1 dalam perkuliahan.  Sementaranya lagi, saya tidak bisa memasak, mencuci baju pun nampaknya gagal, serta menyapu yang sering kurang teliti. Akan tetapi, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, saya tetap akan menjadi seorang Ibu untuk anak-anak saya kelak dan menjadi satu-satunya istri bagi suami saya. Perlu dipertegas ; s a t u - s a t u n y a.

Saya tidak tahu apakah yang ada dibenak Ibu saya saat ini. Lebih lagi, apakah beliau pernah memikirkan bagaimana menjadi ibu yang baik sebelum akhirnya beliau benar-benar memainkan peran Ibu.

Menanggapi tema yang telah tersaji, pertanyaan tambahannya ialah : Apakah Ibu saya tahu bahwa anaknya kelak akan berkecimpung ke dalam media yang bebas gempita beropini menembus ruang dan  waktu? Jawabannya pasti tidak. Pernah suatu ketika Ibu bertanya pada saya, "Kok dia bisa diculik karena pakai Facebook ya, dek? Kamu punya Facebook, nggak?". Saat saya mengangguk, beliau panik dan mengancam untuk mematikan internet sementara waktu. Selang beberapa hari, Ibu kembali bertanya pada saya, "Kamu punya Facebook, kan? Ibu penasaran deh pengen lihat wajah temen-temen Ibu waktu SMP. Bisa kamu cariin nggak? Ini namanya.....". Lucu? Ya, tentu saja. Lahir dari tahun 1957 membuat Ibu saya tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi komunikasi yang telah mendunia. Oleh sebab itulah, sudah dipastikan Ibu saya tidak mengerti apakah itu Facebook, Twitter, Blogger, Wordpress, Youtube, Skype, dan segelintir aplikasi lainnya. Ibu saya hanya tahu bahwa internet itu adalah racun. Internet membuat anaknya lupa makan, malas mandi, mengkhianati tugas, dan banyak sisi negatif yang beliau ucapkan. Akan tetapi, beliau tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk mencegah saya masuk ke dalam lingkaran tersebut, yang bisa beliau lakukan hanya memberi nasihat tanpa henti dengan harapan saya akan mendengarnya. Wahai Ibu, anakmu memang telah masuk kedalam lingkarang yang kau harapkan. Mungkin dirimu sering was-was melihatku terpaku pada layar yang tidak pernah engkau tahu apa yang terdapat didalamnya. Namun bersyukurlah, anakmu bertindak lurus tanpa adanya kelokan yang fatal. Anakmu tahu bahwa banyak racun yang ada disekitarnya, tapi ia berdiri dengan tanpa sengatan racun tersebut. Memang Ibu tidak bisa mencegah hobi saya berkutat pada dunia internet, namun keberhasilan saya berlaku positif dalam mengakses banyak aplikasi adalah berkat dari nasihat dan doa Ibu. Satu hal yang benar dari pendapat Ibu saya adalah, "Internet itu racun." Bermodalkan monitor, keyboard dan koneksi internet, kita dapat melakukan apapun yang kita mau. Entah hanya sekedar berkomunikasi dalam social media, game online, mencari kumpulan artikel, melakukan online shopping, mengunduh lagu, atau yang menjadi ketakutan banyak ibu adalah menonton video porno. Racun yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah mengenai manajemen waktu yang kadang memang berlebihan, karena internet memiliki sifat ketergantungan yang mngkin lebih besar dari ketergantungan pada obat-obat terlarang. Berkaca dari ketidakmampuan Ibu saya mencapai tantangan teknologi yang kian berkembang, saya harus semakin belajar. Sempat saja saya lengah, kemungkinan kelak anak saya  dapat melakukan hal-hal yang lebih ekstrem. Kedinamisan teknologi membuat saya berani bertaruh bahwa di beberapa tahun kedepan internet akan menyajikan lebih banyak varian fungsi, atau mungkin nantinya internet akan lenyap dan diganti dengan teknologi lain. Saat ini mungkin saya bisa bilang pada anak saya, "Saya tahu dimana kamu meletakkan video porno itu." , tapi untuk waktu kedepan siapa yang tahu? Saya pernah menjadi remaja. Saya pernah mengalami pubertas. Saya pernah dikelilingi teman-teman saya yang 'berbahaya'. Saya mengerti banyak akal bulus untuk menyimpan rapi hal-hal negatif yang biasa remaja lakukan.  Saya paham banyak link yang semakin menyempitkan moral anak bangsa. Akan tetapi, apa yang telah berkembang di zaman saya pasti berbeda dengan masa saat anak saya berkembang nanti. Itulah mengapa dari sekarang, sebagai Ibu generasi mendatang, kita harus mampu mengikutikedinamisan teknologi. Agar kelak kita tahu bagaimana cara terbaik untuk mendidik moral dan mental anak ditengah globalisasi yang semakin menggila.  Kalau bukan saya, kamu, kita, siapa lagi? Selamat hari Ibu, wahai Ibuku. Selamat hari calon Ibu, wahai seluruh gadis.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun