Mohon tunggu...
kamira sanjaya
kamira sanjaya Mohon Tunggu... -

Setelah lama aktif di dunia "penelusuran fakta", sepertinya perlu juga untuk men-share pengalaman dan kemampuan, yang tak seberapa ini, ke rekan-rekan untuk bahan diskusi bersama. Lewat sarana KOMPASIANA saya mencoba (selalu) mengelaborasikan sisi politik dan sisi keuangan yang melingkupinya. "POLITIK" dan "UANG" (sebagai manifestasi sempit KEKUASAAN) ibarat saudara kembar yang senantiasa berjalan beriringan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Refli Harun... Bertobatlah, Nak!

16 Desember 2010   16:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:40 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribut-ribut soal dugaan adanya suap di Mahkamah Konstitusi (MK), saya (dipaksa) kaget dan heran dengan hasil investigasinya Refli dkk. Bukannya saya meragukan, apalagi menyepelekan para Anggota Tim Investigasi. Justru saya seperti tidak percaya dengan hasil kerja mereka, terlebih saat membandingkan dengan susunan anggota Tim Investigasi. Tim beranggotakan orang-orang yang sudah kenyang makan asam garam dunia pembuktian, baik sebagai pengacara yang berpaktek di pengadilan, maupun jurnalis kawakan.

Tapi bagaimana hasilnya ? Saya mencoba mengupas Laporan Tim Investigasi MK dari sudut pandang pengalaman sebagai “pencari fakta”.

Seperti sudah diketahui umum, pembentukkan Tim Investigasi MK bermula dari kegerahan Ketua MK atas tulisan Refli di sebuah media massa nasional. Untuk “melawan” tulisan tadi, Ketua MK meminta Refli membuktikan sendiri isi tulisannya. Tentu saja dengan dukungan penuh dari institusi MK. Obyek investigasinya adalah, apakah yang dilihat dan didengar Refli sendiri seputar perilaku Hakim MK, yang menurut Refli diragukan integritasnya, dapat dibuktikan.

Tim selanjutnya bergerak. Diawali dari testimoni yang dibuat Refli sendiri. Bahwa, dia melihat dan mendengar langsung dari Bupati Simalungun (JD Saragih) perihal adanya permintaan uang sebesar Rp1 Milyar oleh salah seorang Hakim MK (Akil). Refli juga mengaku melihat (fakta) dengan mata kepala sendiri sekoper uang Dollar yang (katanya Saragih) akan diserahkan ke Hakim MK tersebut. Soal uang Dollar yang ada di koper, sejauh data yang ada, Refli hanya mendasarkan pada keterangan pembantu Saragih, yang mengaku berulang kali disuruh menukarkan Dollar.

Dari informasi ini saja sudah terasa kenisbian dari apa yang diakui Refli sebagai fakta. Adalah fakta bahwa Refli pernah bertemu dengan Saragih. Hal ini juga diakui oleh Saragih dan satu saksi lainnya. Tapi, soal Dollar di dalam koper, Refli hanya menduga. Dia hanya berasumsi dari keterangan Saragih plus orang dekat (pembantu) Saragih. Si pembantu pun hanya mengaku menukar Dollar, tapi tidak mengatakan dialah yang memasukkan dolar yang ditukarnya tadi ke koper yang dilihat Refli.

Lantas, bagaimana soal cerita Saragih versi Refli yang mengatakan bahwa uang Dollar (yang katanya) dalam koper tadi akan diserahkan ke Hakim MK ? Untuk mengulas informasi cerita ini, kita perlu membuat rekonstruksi suasana (circumstances), kenapa perkataan Saragih tadi (kalaupun benar) bisa keluar dari mulutnya.

Hubungan Refli dan Saragih dalam cerita kemelut ini adalah sebagai pengacara-klien terkait sengketa Pilkada Simalungun. Para lawan politik Saragih di Pilkada menggugat kemenangannya ke MK. Entah siapa yang menghubungi siapa, yang jelas faktanya Refli ditunjuk menjadi pengacara Saragih.

Dalam sebuah wawacara di televisi, Refli pernah menyatakan bahwa kemenangan suara Saragih adalah mutlak. Sehingga sulit rasanya untuk dikalahkan menyangkut gugatan hasil pilkada. Namun, Saragih juga menghadapi gugatan lain, antara lain soal ijasah palsu.Sebenarnya pembuktian untuk materi gugatan syarat formal tersebut relatif lebih sederhana dan singkat. Apalagi bila Saragih sangat yakin soal formalitas semestinya sudah selesai saat pemeriksaan administratif pasangan calon.

Kalau tetap ingin didalami “siapa menghubungi siapa” dalam perkara gugatan Pilkada Saragih, lebih masuk akal bila Refli-lah yang perlu dapat order jasa pengacara. Yang namanya pengacara pastilah sudah lazim dengan istilah “jual surga di telinga, pasang neraka di mata” untuk closing seputar lawyer fee plus success fee.

Di belakang hari (mungkin) Saragih baru menyadari, bahwa MK tidak seseram yang didengar dan dibayangkannya. Terlebih saat hasil sidang MK memenangkan dirinya. Soal Refli (sering) kalah, ya itu hal lain. Demikian pula, saat dia menang, mungkin memang sudah dari sononya. Persis iklan MK yang “tidak bisa memenangkan yang semestinya kalah dan mengalahkan yang semestinya menang”.

Meski yakin dari sononya menang, Saragih tidak bisa mengelak begitu saja dari komitmen kepada Refli sebagai Pengacaranya. Apalagi kalau Refli (mengaku) tidak bekerja sendiri, alias perlu dukungan orang-orang dibelakang layar. Masalahnya, komitmen dana ”ewes-ewes dan sesajen” ini sering kali tidak dinyatakan secara tertulis. Celah inilah yang mungkin dilihat Saragih untuk berkelit dari komitmen tak tertulisnya. Saragih malah berani meminta “diskon” (janji) fee yang mestinya diberikan ke Refli. Soal permintaan diskon ini ada diungkap di laporan Tim Investigasi. Seperti yang juga dijelaskan Ketua MK saat jumpa pers tempo hari. Namun, Refli membantah pernah menuliskan laporan seperti itu.

Permintaan diskon pastilah disertai alasan. Sampai akhirnya muncul cerita Saragih bahwa diskon itu untuk menutupi kemauan Hakim MK agar memenangkan kasusnya. Mendengar penjelasan demikian, wajar, kalau Refli meradang. Bila tidak mau dikatakan ada oknum Hakim MK “makan jatah orang”, hal itu bisa dianggap Refli sebagai pemerasan kepada Kliennya. Refli menyarankan agar sang oknum dilaporkan ke KPK. Tapi Saragih belum bersedia. Refli-pun pasrah saat Saragih hanya membayar fee sebesar Rp750 juta,yang kuitansinya dipegang Saragih.

Sementara itu, disisi lain, kesuksesan Refli memenangkan perkara Saragih jelas memunculkan biaya sosial. Bila tidak ingin dijauhi para jejaringnya plus dicap “makan sendiri”. Butuh biaya untuk itu, dari sekedar “uang dengar” sampai “ongkos koordinasi”. Jejaring Refli jelas tidak bakal percaya andai Refli bilang fee-nya kecil dan tidak ada uang macam-macam dari kliennya. Apalagi, selepas menangani kasus Bupati Simalungun Refli juga sempat plesiran ke Eropa. Refli pasti bakal ribet dirongrong terus.

Refli pantas untuk tak nyaman dengan situasi yang tidak mengenakkan itu. Dia pun pasti masih gundah dan jengkel dengan diskon sepihak oleh Saragih atas jatah komitmen fee-nya. Momentum untuk menumpahkan segala perasaan jengkel, gundah, dan sebalnya, muncul manakala Ketua MK menyatakan di media massa bahwa “Hakim MK bersih”. Lewat media massa ekspresi perasaan Refli muncuat dan memicu “perang” nya dengan kubu MK.

Lebih lanjut, dari tantangan MK sejatinya Refli juga beroleh berkah untuk melawan in-commitment-nya Saragih. Kalau dulu Refli tidak punya alasan untuk mengecek kilahnya Saragih, sekarang dia punya sarana. So, Saragih diuber ke segala tempat. Tapi berulang kali pula Saragih suskes meloloskan diri dari kejarannya bersama Tim Investigasi.

Refli bersama Tim-nya seolah ingin Saragih “gentle” membuktikan omongan yang dijadikannya pembenaran untuk mendiskon fee. Bila Saragih berani ngomong pemerasan, pastilah Akil yang kejerat kasus. Refli-pun tidak dicap “negatif” oleh jejaringnya. Sebaliknya, bila tidak berani,maka kekurangan fee mesti dibayarkan.

Ternyata Saragih memilih untuk menghindar, sampai batas waktu kerja Tim Investigasi habis. Mestinya hasil investigasi tidak bisa dibuat kesimpulan sebelum Saragih berkicau. Hal yang menganehkan, Tim sama sekali tidak meminta bantuan MK untuk membantu menghadirkan yang bersangkutan. Padahal di awal penugasan MK sudah menjanjikan hal itu. Sekedar minta perpanjangan waktu mengejar Saragih pun tak dilayangkan ke MK. Justru, Tim memilih membenturkan cerita yang masih sepenggal versi Saragih yang didengar Refli langsung ke publik. Praktis,moncong meriam seperti diarahkan ke muka Akil.

Mungkin Tim Investigasi salah perhitungan. MK ternyata lebih lihai untuk tidak mau terjebak ke rangkaian skenario yang ada dalam Laporan Investigasi. Justru gelondongan hasil investigasi dikirim MK ke KPK. Laporannya tidak main-main. MK menganggap telah ada upaya percobaan penyuapan kepada Hakim yang dilakukan Refli dan Saragih. Ini adalah ranah Tipikor !

Diserang dengan mortir Tipikor, akhinya Saragih mau keluar sarang. Dia dihadapkan pada pilihan sulit. Antara “ya” mengakui dan “tidak” mengakui pernah ada kejadian pemberian uang ke Hakim MK. Konsekuensi pilhan “ya”, dia bisa terkena nasib seperti Anggodo. Sedang imbas pilihan kedua, dia bakal ditagih Refli. Bak belut licin, Saragih memilih untuk bilang “tidak”. Tapi seketika itu juga dia melaporkan Refli dengan tuduhan fitnah. Arahnya bisa ditebak. Saragih ingin punya bargaining position yang bisa dibarter dengan sisa fee yang belum dibayarkannya ke Refli. Kasus jadi pelik dan makin melebar.

Kalau mau berpikir jernih, soal “wanprestasi”, itulah mungkin sejatinya hal tersembunyi dari sengketa Refli-MK ini. Kalau hendak dirunut, tidak jauh-jauh dari urusan “selingkuh” harta. Tak peduli, kalau untuk hal itu harkat dan martabat seseorang mesti ditumbalkan. Rasa-rasanya mustahil Tim Investigasi tidak tahu “bara” dibalik kasus ini.

Meski di laporan Tim Investigasi ada “temuan hiburan” berupa dugaan suap di proses hukum sengketa Pilkada Bengkulu, saya yakin masyarakat tetap punya nalarnya sendiri. Tindakan seorang Akil dalam mempertahankan harkat dan martabat seyogyanya diapresiasi. Bukan malah dianggap sebagai serangan balik terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Toh, sejauh ini tindakan korupsi masih sebatas imaginasinya Refli.

Bicara substansi, sepertinya tidak ada bau-baunya investigasi di Laporan Tim-nya Refli ini. Hakekat sebuah investigatif adalah menjadikan terangnya suatu masalah. Bukan malah membuat makin keruh permasalahan. Sekedar mengingatkan, tujuan dibentuknya Tim Investigasi adalah membuktikan segala hal yang pernah dipublikasikan Refli di media massa. Bukan untuk memberikan saran perbaikan ke MK, semisal pembentukkan Majelis Kehormatan atau Wistle Blowing Canal. Saran demikian itu perlu dan penting. Tapi belum hal yang urgent seperti diharapkan banyak pihak. Soal temuan kasus suap di Pilkada Bengkulu-pun jadinya bak tempelan semata, ketimbang malu, mengingat sedari awal tidak diniatkan untuk ditelusuri.

Tujuan digelarnya investigatif makin melenceng manakala Tim Investigasi (baca Refli) seolah “memaksa” MK menindaklanjuti rekomendasi yang tidak urgent tadi. Dengan balas mengirim hasil investigasinya ke KPK. Tak salah juga kalau masyarakat menganggap Refli yang telah “gagal” membuktikan tulisannya, tapi tak mau kehilangan malu, apalagi memohon maaf, sekedar sibuk cari simpati publik.

Sejauh ini KPK tidak mau menelan begitu saja laporan imbas kisruh kedua pihak tadi. Sedari awal KPK sudah menegaskan, bahwa penyelidikan yang akan mereka gelar tidak mendasarkan laporan yang diberikan Refli maupun MK. Mungkin lebih menarik bagi KPK untuk menelusuri kemana aliran Uang Dollar Saragih seperti yang disebutkan Refli dalam testimoninya. Apalagi dalam cerita aliran uang Dollar ke MK tadi tersembul nama TM Nurlif yang saat ini terjerat kasus cek pelawat di KPK.

Pada akhirnya kearifan masyarakat dalam mensikapi kemelut dugaan suap di tubuh MK ini sangat diperlukan. Khusus untuk Refli..pintu pertobatan senantiasa terbuka untukmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun