Mohon tunggu...
Difa Rahma Melati
Difa Rahma Melati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor

Saya percaya bahwa melalui penyuntingan, saya dapat memperlihatkan kecantikan serta kompleksitas dari kehidupan di Dunia ini. Setiap suntingan yang saya buat adalah upaya untuk menyampaikan pesan-pesan yang kuat, mendalam, dan penuh empati kepada penonton. Meskipun masih belajar, saya selalu berusaha untuk mengembangkan keterampilan saya dalam seni penyuntingan. Setiap proyek yang saya kerjakan menjadi kesempatan untuk mengeksplorasi teknik-teknik baru, memperluas cakrawala kreatif, dan memperdalam pemahaman saya tentang bagaimana menyampaikan narasi melalui gambar-gambar yang berbicara. Apa yang telah saya buat bukan hanya sekadar kumpulan editan visual, tetapi juga sebuah perjalanan pribadi yang penuh dengan dedikasi, semangat, dan keinginan untuk memberikan suara kepada mereka yang mungkin tidak terdengar. Melalui seni penyuntingan, saya berharap dapat menginspirasi, mengedukasi, dan membangun penghubung dengan orang-orang di seluruh dunia, sambil terus tumbuh dan berkembang sebagai seorang seniman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbang Menggapai Mimpi: Syukur di Tanah Gontor

9 Oktober 2024   16:42 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:26 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" TERBANG MENGGAPAI MIMPI: SYUKUR di TANAH GONTOR"

 Nadia Pratiwi

Malam itu, langit seperti sebuah kanvas hitam yang luas, dihiasi bintang-bintang berkilauan layaknya permata yang menari-nari di kegelapan. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya yang lembut, seakan malu-malu menyaksikan setiap langkah kecilku yang penuh harapan namun juga dibalut keraguan. Dalam keheningan malam itu, di bawah naungan bintang-bintang, aku meninggalkan Sekolah Birrul Muhammadiyah, sebuah tempat sederhana yang telah menyaksikan perjalanan hidupku di desa kecil bernama Pecing, Sragen. Setiap sudut desa itu menyimpan jejak masa kecilku, dan kini, aku merasa seperti burung yang siap terbang meninggalkan sarangnya. Namun, di hatiku, ada kegelisahan yang tak bisa kupungkiri---"Apa yang akan kulakukan setelah ini?" tanyaku dalam hati, dengan perasaan yang terombang-ambing antara harapan dan ketakutan.

Saat itu, aku dan empat sahabatku---Maratuz, Lintang, Itsuwa, Atorva, dan aku sendiri, Dira---memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hidup kami ke jenjang yang lebih tinggi. Kami memilih Pondok Modern Darussalam Gontor, sebuah tempat yang kami anggap sebagai "Surga Satu Menara". Tempat ini adalah impian bagi banyak orang, sebuah tanah suci ilmu yang hanya bisa diinjak oleh mereka yang benar-benar terpilih. Hari itu, ketika matahari masih bersembunyi di balik awan, ribuan orang datang, berdesak-desakan dengan penuh harapan untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Di tengah kerumunan , aku melihat tubuh-tubuh yang mulai kelelahan, tangan-tangan yang tetap kokoh menggenggam anak-anak mereka meski dengan tenaga yang mulai terkuras, dan mata-mata yang lelah namun tetap menatap masa depan dengan penuh doa.

Aku, seorang anak dari keluarga sederhana, yang tak pernah merasa malu dengan apa yang kami miliki. Bapakku adalah seorang penjual bakso---sebuah pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin dianggap biasa saja, namun bagi kami, itu adalah sumber kehidupan dan kebanggaan. Setiap tetes keringat bapakku adalah doa yang mengalir, setiap butir bakso yang ia buat adalah impian yang ia rajut untuk masa depanku. Aku tidak pernah merasa rendah diri, karena aku tahu, dari jerih payah bapak, aku bisa berdiri tegak di sini, melangkah menuju masa depan yang aku harapkan.     

Hari penentuan itu tiba. Di bawah tenda besar dengan kursi-kursi hijau yang tersusun rapi, aku duduk bersama empat sahabatku, menunggu dengan jantung yang berdebar kencang. Nama demi nama dipanggil, dan satu per satu harapan kami mulai pupus ketika nomor ujian kami tak kunjung disebut. Hingga tiba-tiba, di tengah keheningan, aku mendengar nomorku dipanggil. "29468 !" Suara itu bagaikan cahaya di tengah kegelapan, namun bukan Gontor Putri Kampus 1 yang menjadi takdirku, melainkan Gontor Putri Kampus 2---sebuah tempat yang tak pernah terlintas dalam angan-anganku. Lantas? Bagaimana kabar sahabatku yang lain? Yah mereka disana. Di surga yang berbeda denganku. Meski ada sedikit kepedihan karena harus berpisah dengan sahabat-sahabatku yang diterima di Gontor Putri Kampus 3, rasa syukur yang begitu besar membanjiri hatiku. Aku tahu, ini adalah rencana Tuhan, dan aku harus berjalan di jalanku sendiri, meskipun tanpa mereka di sisiku. Perjalananku tak begitu lurus, terkadang aku harus berhenti, terkadnag aku harus menatap kebelakang, bahkan tak jarang aku pernah kembali ketitik awal hingga aku harus lari menuju impianku.

Hari-hari pertama terasa sangat berat. Setiap langkah terasa seakan aku harus menyeret kaki yang berat, namun aku tahu bahwa setiap langkah adalah bagian dari perjuangan menuju mimpi yang telah lama aku genggam. Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu, dan waktu berlalu begitu cepat. Kini, di Pondok Modern Darussalam Gontor ini, aku belajar, tumbuh, dan menghadapi tantangan hidup yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Setiap langkah kecil yang kuambil adalah bagian dari perjuangan panjang menuju impian terbesar dalam hidupku: menjadi seorang ustadzah, seorang pembimbing yang menuntun generasi mendatang dengan cinta dan kebijaksanaan.

Selama enam tahun, aku menjadi santriwati, belajar di bawah bimbingan para wali kelas yang selalu berbeda setiap tahunnya. Dari mereka, aku belajar arti kebijaksanaan, kesabaran, dan ketulusan hati. Dalam hati, aku terus berdoa agar suatu hari nanti, aku bisa mengenakan toga kebesaran ala Gontor, seperti para guru yang telah menginspirasiku. Doaku akhirnya dijawab oleh Tuhan. Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh berkah, ketika aku diangkat menjadi seorang guru, bahkan wali kelas. Takdir membawa mimpiku dari tahun 2016 menjadi kenyataan, dan kini aku ditugaskan untuk mengawal kelas B-10. Sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab besar yang kuterima dengan hati yang penuh haru dan bangga.

Di sinilah, sekarang, di tempat ini, kisah hidupku bermula kembali. Bersama para bidadari kecilku, aku merajut cerita hidup yang penuh dengan liku dan tantangan. Mereka, anak-anak yang jauh dari kata sempurna, dengan tangan yang masih kaku menulis huruf Arab, pikiran yang masih bingung dalam menghitung angka, dan lidah yang terbata-bata dalam berbicara, namun dalam setiap kekurangan mereka, aku melihat kilauan harapan yang begitu terang.         

Suatu hari, seorang muridku datang kepadaku dengan mata yang penuh kelelahan dan berkata, "Ustadzah, aku tak sanggup lagi. Matematika, perkalian, pembagian---semua itu terlalu sulit bagiku." Kata-katanya menembus hatiku, membuatku terdiam. Dalam benakku, aku ingin bertanya, "Apa yang kau pelajari selama ini di bangku Sekolah Dasar?" Namun, aku menahan diri. Perlahan, aku menyadari bahwa mereka adalah anak-anak yang terlahir dalam badai pandemi. Mereka yang seharusnya belajar dasar-dasar ilmu di sekolah, harus belajar dari rumah dengan segala keterbatasan. Wabah Covid-19 datang seperti badai yang menghantam kapal di tengah lautan, dan mereka tak luput dari goncangan itu. Pembelajaran jarak jauh menjadi satu-satunya pilihan, namun pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi yang kokoh menjadi rapuh. Efeknya baru terasa sekarang, di ruang kelas ini, di mana mereka kesulitan dalam hal-hal yang seharusnya mudah.

Dari Gontor aku percaya bahwa yang terpenting bukanlah sekedar aku, sang guru. Lebih dari itu. Layknya kalimat pepatah yang selalu terngiang dibenakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun