Mohon tunggu...
Difa Kusumadewi
Difa Kusumadewi Mohon Tunggu... -

Difa kusumadewi is President of Menrva Foundation for Science and Reason, a social conflict researcher, and journalist for Dekker Center. She holds degree in Informatics Engineering from Bandung Institute of Technology in 2012, where she realized her mistake for taking her major in IT. During college she was active in social studies and research organization in Bandung Institute of Technology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hutan dan Pembangunan

18 Desember 2013   11:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Difa Kusumadewi Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dengan kandungan sumber daya alam yang besar. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah hutan tropis yang didalamnya terdapat hewan-hewan langka eksotis, aneka ragam tanaman, termasuk pohon yang digunakan untuk berbagai macam kebutuhan.  Berdasarkan data resmi departemen kehutanan tahun 2009, 71% silayah daratan Indonesia adalah wilayah hutan. Cukup banyak penduduk indonesia tinggal di hutan dan daerah sekitar hutan. Mereka memanfaatkan hasil hutan untuk menunjang perekonomian mereka. Pemanfaatan hasil hutan tidak hanya dilakukan oleh penduduk lokal tapi juga oleh perusahan yang bergerak di sektor kehutanan.   Sektor kehutanan ini mempunyai peranan kunci untuk menggerakkan ekonomi di sektor lainnya dan memberikan kontribusi besar terhadap PDB nasional. Selain itu, kegiatan pemanfaatan hutan juga berperan dalam membuka isolasi peradaban di daerah terpencil yang akan memberikan peluang ekonomi, akses informasi, kesehatan dan pembangunan yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat. Perusahaan-perusahaan kehutanan telah membuka isolasi di berbagai pelosok daerah terpencil dengan membangun jalan dan kebutuhan transportasi lainnya. Panjang jalan yang dibuat oleh perusahaan sektor kehutanan mencapai lebih dari 350 ribu km, lebih besar dari ruas jalan umum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia yang mencapai sekitar 250 ribu km. Ketersediaan jalan ini tidak hanya menguntungkan perusahaan itu sendiri, tapi juga memungkinkan masuknya investasi sektor lain di daerah tersebut. Selain memberikan kesempatan masuknya investasi bagi sektor ekonomi lain dengan membangu infrastruktur transportasi, kegiatan sektor kehutanan juga memiliki keterhubungan yang kuat dengan dengan aktivitas sektor lainnya. Sebagian aktivitas di sektor hulu kehutanan seperti ijin HPH dan HTI dan pemanfaatan hasil hutan lain seperti getah, gaharu, dan rotan memiliki forward linkage yang tinggi. Sedangkan industri hilir kehutanan seperti industri mabel, bubur kertas, dan kertas, walaupun dalam pembagiannya tidak termasuk sebagai industri sektor kehutanan, mempunyai backward linkages yang panjang. Secara garis besar, sektor kehutanan mempunyai forward linkage yang besar setelah sektor pertanian dan perkebunan. Efek penggandaan pendapatan, pengeluaran, dan tenaga kerja sektor kehutanan juga relatif besar dibandingka sektor perekonomian lain. Kebijakan yang mematikan usaha sektor kehutanan dapat mematikan untuk sektor ekonomi lainnya karena keterikatan antara sektor kehutanan dan sektor  lainnya sangat tinggi. Kebijakan penurunan emisi karbon dengan skema REDD dan skema perdagangan karbonnya merupakan kebijakan yang riskan terhadap sektor kehutanan. Mekanisme perdagangan karbon, di satu sisi, merupakan salah satu peluang alternatif untuk pendanaan sektor kehutanan. Namun, di sisi lainnya, mekanisme tersebut mengancam perekonomian nasional dan daerah, serta mengancam pembangunan di daerah terpencil. Implementasi penurunan emisi karbon adalah pengurangan jatah tebang. Jika pengurangan jatah tebang tersebut cukup besar melalui moratorium penebangan, maka hal tersebut dapat berdampak serius pada sektor kehutanan dan juga menimbulkan efek domino terhadap sektor-sektor terkait. Tanpa adanya pengurangan jatah tebang dan moratorium, terdapat perbedaan antara permintaan dan penawaran kayu untuk pemenuhan konsumsi domestik. Kebutuhan kayu nasional diperkirakan sekitar 50 juta meter kubik per tahun, sedangkan suplai kayu nasional hanya sekitar 25 sampai 30 juta meter kubik. Dapat dilihat bahwa pasokan kayu saat ini hanya mencapai separuh dari keutuhan nasional. Jika terjadi pengurangan jatah tebangn dan moratorium, kekurangan pasokan kayu domestik akan semakin besar. Hal ini akan menyebabkan maraknya pembalakan liar. Pembalakan juga dapat disebabkan oleh tidak diberikannya hak atas tanah kepada masyarakat di sekitar hutan. Jika masyarakat memiliki hak tanah, mereka akan sebisa mungkin mengoptimalkan tanahnya untuk produksi dan menjaga kelangsungan wilayah mereka. Masyarakat akan merasakan kerugian secara langsung jika tidak merawat hutan dan tanah yang mereka miliki. Namun sayangnya strategi yang dilakukan pemerintah untuk melindungi hutan adalah dengan melakukan konservasi. Akibatnya, masyarakat di sektitar hutan dilarang untuk mengambil sumber daya di dalam hutan yang meningkatkan taraf hidup mereka. Tidak aneh jika masyarakat di sekitar area konservasi sering kali menjadi pembalak liar karena desakan ekonomi. Selain itu, daerah di sekitar area konservasi juga rawan terjadi konflik karena masyarakat tidak lagi dapat mengakses hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Negara dan masyarakat jelas harus melakukan pelestarian hutan. Hutan yang lestari dapat memberikan dampak perekonomian dan pembangunan, selain fungsinya untuk mencegah banjir, penyangga kehidupan, penahan erosi, dan sebagai laboratorium ekosistem. Insentif ekonomi sektor kehutanan sendiri dapat membantu masyarakat dalam pelestarian hutan. Namun, menganggap hutan sebagai sesuatu yang tidak boleh disentuh bukanlah cara yang tepat untuk pelestarian, dan bahkan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi. dan pembangunan. Artikel ini telah dipublikasikan di Surat Rakyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun