Oleh Difa Kusumadewi Berbagai kasus diskriminasi di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh masyarakat dan faktor historikal yang melandasinya. Beberapa undang-undang, pasal, surat keputusan, dan kebijakan pemerintah juga sangat diskriminatif terhadap minoritas di Indonesia. Akibat dari kebijakan diskriminatif dan pembiaran sistematis ini, tidak ada jaminan keamanan dan hak beragama kepada kelompok agama minoritas di Indonesia. Berdasarkan laporan dari SETARA institut, terjadi peningkatan kasus diskriminasi dan kekerasan berlandaskan agama di Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007 terjadi 135 peristiwa dan 185 tindakan, pada tahun 2008 terjadi 265 peristiwa dan 367 tindakan, pada tahun 2009 terjadi 200 peristiwa dan 291 tindakan, tahun 2010 terjadi 216 peristiwa dan 286 tindakan, pada tahun 2011 terjadi 244 peristiwa dan 299 tindakan, sedangkan pada tahun 2012 terjadi 264 peristiwa dan 371 tindakan. Definisi ‘peristiwa’ adalah sesuatu yang terjadi, mulai dari awal sampai akhir. Dalam sebuah peristiwa dapat terjadi sebuah tindakan tunggal, sejumlah tindakan berlanjut yangberkaitan, atau kombinasi dari sejumlah tindakan yang berkaitan dan terjadi bersamaan. Sedangkan ‘tindakan’ adalah suatu aksi atau gerakan, biasanya melibatkan penggunakan kekerasan, dilakukan oleh orang (individual atau kelompok) terhadap orang lain, tindakan semacam ini adalah ‘act of commission’ atau tindakan langsung. Tindakan bisa juga diartikan sebagai tidak adanya atau tidak munculnya aksi atau gerakan yang diharapkan atau dinginkan, tindakan semacam ini adalah ‘act of ommission’. Pada tahun 2012 SETARA Institute mencatat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 371 bentuk tindakan, yang menyebar di 28 propinsi. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (76) peristiwa, Jawa Timur (42) peristiwa, Aceh (36) peristiwa, Jawa Tengah (30) peristiwa, dan Sulawesi Selatan (17) peristiwa. Dari 371 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 145 (39%) tindakan yang dilakukan oleh negara dengan melibatkan para penyelenggara sebagai aktornya. Dari 145 jumlah tindakan negara, 117 tindakan diantaranya merupakan tindakan aktif dan 28 diantaranya merupakan tindakan pembiaran. Termasuk dalam tindakan aktif adalah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik yang provokatif dan menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan, atau menjadi justifikasi terjadinya tindakan kekerasan. Dari 371 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 226 (61%) tindakan yang dilakukan oleh warga negara, baik yang merupakan tindak pidana (169 tindakan) dan tindakan intoleransi (42 tindakan). Pelaku tindakan pelanggaran pada kategori tindakan yang dilakukan oleh warga negara ini adalah individu maupun yang tergabung dalam organisasi masyarakat. Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran, secara berturut-turut adalah: Masyarakat/warga (76 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (25 tindakan), Front Pembela Islam (24 tindakan), Gabungan Ormas Islam (10 tindakan), dan institusi pendidikan (9 tindakan). Sasaran tindakan kekerasan terbesar adalah kelompok agama minoritas di Indonesia, seperti Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah. Organisasi militan Islamis, termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi. Mereka memberikan pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-Muslim, serta “sesat” kepada kalangan Muslim yang tak sama dengan mereka. Pejabat pemerintah dan keamanan juga sering memfasilitasi pelecehan dan intimidasi terhadap kaum minoritas oleh organisasi militan, menurut Human Rights Watch. Tindakan tersebut termasuk membuat pernyataan diskriminatif, menolak mengeluarkan izin bangunan untuk rumah ibadah kaum minoritas agama, dan mendesak jemaat minoritas untuk relokasi. Naiknya angka kekerasan dengan kelompok agama minoritas sebagai korbannya adalah bentuk kegagalan pemerintah melindungi warga negaranya. Hal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 yang dengan jelas menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Sumber: Setara Institute Human Right Watch Photo credit: yuari.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H