Mohon tunggu...
Difa Kusumadewi
Difa Kusumadewi Mohon Tunggu... -

Difa kusumadewi is President of Menrva Foundation for Science and Reason, a social conflict researcher, and journalist for Dekker Center. She holds degree in Informatics Engineering from Bandung Institute of Technology in 2012, where she realized her mistake for taking her major in IT. During college she was active in social studies and research organization in Bandung Institute of Technology

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Teroris Juga Manusia

18 Desember 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Terlepas dari apapun motifnya, kesamaan mereka adalah bahwa mereka ingin memperbaiki keadaan di dunia. Keadaan dunia sekarang dianggap tidak adil, penuh maksiat, dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, jihad dianggap penting untuk memperbaiki keadaan, dan jihad yang mereka pahami adalah memerangi non-Musim, dan Muslim yang tidak mempraktikkan Syariah Islam.

Pengikut garis keras yang kemudian bergabung dengan gerakan teroris mudah dipengaruhi oleh para imam seperti Imam Samudra, Noordin M Top,  dan   pemimpin radikal lainnya karena pemikiran yang dangkal dan  struktur kognitif mereka yang sederhana. Beberapa dari mereka memiliki pendidikan terbatas dan hampir tidak ada pengalaman di luar komunitasnya.

Bagaimanapun  terdapat motif implisit seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Kebanyakan dari pelaku terorisme berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka membutuhkan status untuk meningkatkan penghargaan atas diri mereka dari pengakuan atas kelompok tertentu. Bagi mereka, status mereka akan lebih diakui jika mereka bergabung dengan kelompok radikal dan berjuang menjadi pahlawan yang menegakkan Syariah Islam. Hal inilah yang menyebabkan pelaku melakukan bom bunuh diri untuk menaikkan status sosialnya dalam kelompok dengan menjadi pahlawan yang mengorbankan dirinya.

Terlepas dari pemahaman radikalnya, mereka adalah manusia normal yang berkeluarga, berkomunitas, memiliki kebutuhan ekonomi, dan membutuhkan pengakuan diri. Dari tinjauan psikologi yang dilakukan oleh  Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Mereka tidak terindikasi memiliki sindrom skizofernik, psikopat, dan tidak memiliki  tanda-tanda neurotik. Hanya satu atau dua orang saja yang mengalami gangguan kejiwaan. Yang membedakan mereka dengan orang lain hanyalah pemikiran radikal dan lingkungan yang mendukung mereka mendapatkan kebutuhan eksistensi diri yang diberikan oleh kelompok radikal.

Artikel ini telah dipublikasikan di Surat Rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun