Mohon tunggu...
Difa Falahudin
Difa Falahudin Mohon Tunggu... -

Hanya untuk tugas Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Ulang : Rezeki Itu Bernama Sampoerna Akademi

20 November 2014   18:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rezeki Itu Bernama Sampoerna Akademi

Waktu itu Ayah baru pulang dari tempat kerjanya. Entah kenapa raut wajah Ayah berbeda dengan biasanya. Sepertinya Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Dugaanku benar,tiba-tiba Ayah memanggilku dan mengajak berbicara empat mata denganku. Aku bingung,tidak biasanya Ayah seperti ini. Lalu Ayah bercerita bahwa saat itu perusahaan tempat bekerjanya sedang mengadakan program beasiswa khusus untuk anak para karyawan yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Memang saat itu Aku sudah hampir menghadapi masa kelulusan SMP,hanya tinggal menunggu hasil dari UN yang sudah Aku hadapi sebelumnya. Tidak gencar-gencarnya Aku berdoa agar lulus dan mendapat hasil UN yang terbaik sehingga bisa masuk di SMA favorit. Memang benar saat itu Aku sedang giat mencari sekolah yang cocok dan bagus menurutku. Tapi Aku ingin sekali melanjutkan ke salah satu sekolah SMA yang terdapat di kotaku. Ayah berkata bahwa ini adalah kesempatan besar untuk mendapatkan beasiswa atau sekolah gratis . Aku baru menyadari dari raut wajah Ayah bahwa dia ingin sekali Aku mengikuti program beasiswa itu. Aku berdiam sejenak. Aku juga berpikir kalau ini kesempatan emas untuk masa depanku nanti. Tanpa berpikir lagi,Aku menyetujui rencana Ayah untuk mengikuti program ini. Kata Ayah pendaftaran akan ditutup dua minggu lagi dan Aku harus menyiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran. Ibuku yang tadinya sedang memasak di dapur langsung menyambar pembicaraanku dan Ayah. Ibuku bertanya apakah Aku benar-benar akan mengikuti program beasiswa ini,dengan muka tampaknya orang kaget. Ibu khawatir kalau program ini akan membawaku ke sekolah SMA yang berada jauh di luar kota. Aku tahu benar bagaimana perasaan Ibuku yang pastinya tidak tega untuk melepaskan anak bungsu dari tiga bersaudara,yaitu Aku. Memang kata Ayah kemungkinan besar SMA tujuan untuk program beasiswa ini berada di luar kota,karena memang belum ada informasi yang pasti untuk hal ini. Aku berusaha meyakinkan pertanyaan Ibuku itu bahwa Aku akan mencoba mengikuti program ini, belum tentu juga Aku akan lolos seleksi dan diterima nantinya, apasalahnya untuk mencoba terlebih dahulu. Seketika pikiranku melayang jauh,betapa kerennya kalau Aku bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan program ini,dari namanya saja sudah keren BEASISWA.

Besoknya Ayah bersiap berangkat kerja dengan membawa berkas-berkas untuk pendaftaran. Setibanya dari kantor, Ayah membawa berita penting bahwa tes seleksi akan dilakukan lima hari mendatang. Tidak mudah mungkin untuk bisa lolos tes seleksi,mungkin Aku akan menghadapi beberapa anak lain yang juga tertarik untuk mengikuti program ini. Aku tidak berharap banyak dari hal itu,paling tidak Aku mendapatkan pengalaman dari seleksi tersebut kalau nantinya Aku tidak lolos seleksi. Entah kenapa Aku tidak terlalu serius untuk menghadapi tes seleksi itu,bahkan Aku tidak pernah belajar dan menyentuh yang namanya buku pelajaran semenjak UN SMP beberapa waktu lalu.

Lima hari berlalu begitu cepat. Tepat pada hari Selasa,Aku bangun pagi buta dan bersiap-siap untuk berangkat ke kantor pusat tempat kerja Ayah yang berada di Surabaya untuk menjalani tes seleksi. Aku berpakaian serapi mungkin,kemeja kotak-kotak warna biru dipadukan dengan celana kain hitam dan sepatu hitam berkilauan yang sudah Aku semir  sebelumnya. Semuanya sudah siap,begitupun dengan Ayah. Aku langsung berpamitan kepada Ibu dan Nenek sembari meminta doa restu agar dimudahkan dalam tes seleksi nanti. Tepat pukul 05.00 pagi,kami berangkat menggunakan kendaraan pribadi. Dalam perjalanan tersebut Aku was-was dan khawatir soal tes yang akan Aku hadapi nanti. Tes yang akanAku hadapi meliputi tes tulis,tes wawancara dan grup diskusi. Ayah menyuruhku untuk mempersiapkan beberapa jawaban yang sekiranya akan ditanyakan pada saat tes wawancara nanti. Aku paham sekali saat itu bahwa Ayah pasti berharap sekali Aku bisa lolos seleksi dan diterima untuk program ini.

Setelah dua jam perjalanan,sampailah kami di kantor pusat PTPN XI. Kami segera menuju ke ruang tes seleksi. Aku semakin cemas dan was-was. Panitia langsung meminta semua peserta  untuk memasuki ruangan karena tes akan segera dilakukan. Aku melihat ada tiga orang anak seumuran denganku,dua laki-laki dan satu perempuan. Aku dapat melihat jelas bahwa saat itu mereka sedang dilanda ketegangan,sama sepertiku. Merekalah yang akan menjadi  pesaingku. Aku mulai merasakan keringat dingin menghampiri tanganku. Aku benar-benar merasakan ketegangan saat itu. Aku juga sempat kecewa dan tidak percaya diri karena tidak ada persiapan yang matang untuk menghadapi tes ini,bahkan Aku tidak belajar sama sekali,padahal beberapa menit lagi Aku akan menghadapi tes yang sangat menentukan. Tidak lama kemudian masuklah tiga tante-tante cantik dan berpakaina rapi ke ruangan. Ternyata merekalah yang menjadi pengawas tes. Sebelum memulai tes,mereka menjelaskan prosedur tes seleksi dan tidak kalah pentingnya,mereka juga menjelaskan tentang profil SMA program beasiwa ini. Mereka menyebutnya SMA Sampoerna Akademi yang bertempat di Bogor,Jawa Barat. Aku melongo sejenak. Aku tidak pernah mendengar sekolah itu sebelumnya. Tentunya sekolah itu berada jauh sekali dari tempat tinggalku yang berada di Jombang,Jawa Timur. Ternyata benar kekhawatiran Ibuku,bahwa sekolah itu berada di luar kota,bahkan Aku tidak membayangkan akan sejauh itu.

Setelah menjelaskan ini itu tentang SMA tersebut,mereka langsung memulai tes seleksi yang didahului dengan tes tulis. Aku mencoba menjawab semua soal menurut sisa sisa ingatanku dengan tangan kaku akibat serangan keringat dingin. Jika ada soal yang Aku tidak mengerti,Aku tidak ragu untuk mengunakan perasaan atau menebak dalam menjawabnya. Di luar ruangan,Aku melihat Ayah yang tampak tegang menungguku selama tes seleksi.  Bagian demi bagian tes seleksi berhasil Aku lewati,meskipun dengan kepercayaan diri yang kurang,namun Aku tetap berdoa untuk hasil yang terbaik. Seusai itu, Aku dan Ayah memutuskan untuk pulang. Setelah sampai dirumah,Ayah dan Ibu saling berebutan untuk menanyaiku tentang tes seleksi tadi. Aku hanya menjawab sekedarnya dengan muka letih dan lesu gara-gara seharian menjalani tes dari pagi sampai sore hari. perasaan pesimis berkali-kali muncul dalam benak. Tapi Aku tetap mencoba tegar dan sabar. Aku sudah berusaha,paling tidak Aku mendapatkan pengalaman mengikuti tes seleksi. Kini Aku tinggal berdoa dan menunggu hasilnya.

Beberapa minggu kemudian,hasil UN yang Aku tunggu-tunggu datng juga. Alhamdulillah,Aku mendapatkan nilai yang lumayan bagus. Modal ini cukup untuk masuk di salah satu SMA favorit dikotaku. Hatiku sungguh berbunga-bunga. Perlahan-lahan Aku mulai melupakan soal program beasiswa di SMA Sampoerna Akademi itu. Perasaanku seperti merelakan kalau nantinya Aku tidak lolos. Setidaknya setelah melihat nilaiku,Aku sudah mendapatkan sekolah yang sesuai harapanku.

Beberapa hari setelahnya, pengumuman program beasiswa itu sudah keluar. Aku yang sedang bermain game di komputer,dikejutkan dengan dering telepon di handphone. Aku menyadari kalau itu telepon dari Ayah. Aku langsung menjawab panggilan itu. Dari telepon itu Aku mendengar Ayah mengucapkan selamat kepadaku bahwa Aku lolos seleksi dan diterima untuk program beasiswa itu. Detak jantung dan aliran darahku terasa berhenti. Entah perasaan senang atau sedih yang muncul saat itu.

Malam haripun tiba. Ayah datang dari kerja dan saat itu juga,Ayah langsung menghampiriku yang sedang terpaku di depan TV dan menjabat tanganku serta memberiku selamat sekali lagi. Begitu juga Ibuku dan Kakakku, mereka juga memberiku sepatah kata selamat setelah mereka tahu kalau Aku mendapat beasiswa itu. Entah kenapa,tidak ada perasaan senang yang timbul dalam diriku,justru perasaan sedih terlintas di pikiranku. Aku langsung berlari menuju kamar dan menutupi muka dengan bantal. Air mata mulai mengalir di pipiku. Bukannya bahagia mendengar kabar baik,malah saat itu perasaanku sangat sedih. Ayah dan Ibuku bingung melihat aku terisak di balik bantal. Mereka mencoba menenangkanku. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Mungkinkah Aku harus meninggalkan rumah untuk bersekolah yang berada jauh dari rumah,mungkinkah Aku harus meninggalkan keluarga,teman dirumah dan lain-lain. Bagaimana jadinya kalau nanti Aku tidak punya teman disana,bagaimana kalau Aku sendirian disana,bagaimana kalau Aku tidak betah disana. Semua itu terlintas di pikiranku. Orangtua dan kakakku mencoba untuk menenangkanku. Pada saat itu Aku sempat menolak untuk menerima beasiswa itu,Aku lebih memilih sekolah di kotaku saja daripada bersekolah jauh meninggalkan rumah. Orangtuaku menyayangkan hal itu. Mereka memberiku beribu-ribu nasihat untuk membujukku agar tetap menerima beasiswa itu. Mereka bilang bahwa ini rezeki dari Tuhan,kita tidak pantas menolaknya. Belum tentu Aku akan memperoleh kesempatan seperti ini untuk kedua kalinya. Setelah puas memberiku nasihat,dengan perasaan sedih mereka meninggalkan Aku yang sendirian berbaring di tempat tidur. Pada hari itu, Aku tidak bisa memejamkan mataku. Hari sudah menuju larut malam,tapi rasa kantuk tidak kunjung menghampiriku. Saat itu juga Aku langsung introspeksi diri dan berpikir. Mungkin benar ini memang sudah rezeki yang ditakdirkan oleh Tuhan. Mungkin dengan ini Aku bisa membuat bangga orangtua dan meringankan beban mereka. Perlahan-lahan rasa yakin akan menerima beasiswa itu mulai muncul. Keesokan harinya Aku langsung menghampiri Ayah dan Ibu. Aku bilang,kalau Aku bersedia untuk menerima beasiswa itu dan siap untuk bersekola di SMA Sampoerna Akademi itu. Ayah sangat senang mendengar hal itu,sebaliknya dengan Ibu. Dibalik wajah senang Ibuku,Aku melihat kalau dia juga memiliki perasaan tidak tega untuk melepaskanku untuk bersekolah yang berada jauh di luar kota.

Akhirnya tibalah hari keberangkatanku menuju ke sekolah baru yang berada di Bogor,Jawa Barat. Setelah jauh-jauh hari mempersiapkan mental dan semua kebutuhan yang diperlukan untuk dibawa,akhirnya Aku beranjak meninggalkan kampung halamanku tercinta. Tidak lupa Aku berpamitan kepada semua keluarga dan kerabat yang ada dirumah. Aku berangkat bersama ayah menggunakan pesawat terbang menuju Bogor.

Dari pengalaman itu Aku mendapat pelajaran bahwa kita tidak boleh menolak rezeki yang diberikan oleh Tuhan kepada kita,meskipun awalnya itu sangat susah untuk kita bisa menerimanya. Kita tidak akan tahu rencana apa yang telah disiapkan Tuhan untuk masa depan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun