Mohon tunggu...
Difa Falahudin
Difa Falahudin Mohon Tunggu... -

Hanya untuk tugas Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Analisis Cerita Legenda

1 Desember 2014   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:24 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Legenda Gunung Batu Hapu

Pada zaman dahulu,hiduplah seorang janda miskin di perbatasan antara dua desa yang bernama Tambarangan dan Lawahan. Nama janda itu Nini Kudampai. Dia memiliki seorang putra yang bernama Angui. Mereka hidup dalam kemiskinan. Mereka juga tidak memiliki sanak keluarga yang dekat dengannya. Meskipun demikian, Nini Kudampai tidak pernah mengeluh. Ia tetap bekerja banting tulang agar bisa menghidupi keluarga kecilnya itu.

Semasa masih kecil,Angui tidak memiliki teman bermain. Namun, dia memiliki tiga binatang peliharaan kesayangan yang selalu setia menemaninya, yaitu ayam jantan putih, babi putih, dan seekor anjing yang juga putih bulunya. Setiap hari mereka selalu bersama,layaknya seorang sahabat akrab.

Suatu ketika, Angui sedang bermain di halaman rumahnya dengan binatang peliharaanya. Kemudian melintaslah seorang saudagar Keling dari negeri lain. Konon dia adalah seorang yang kaya raya. Ketika melewati rumah Nini Kudampai, dia melihat Angui yang sedang bermain. Saudagar itu sangat tertarik dengan Angui. Dari penampilan fisik yang dimiliki oleh Angui, saudagar itu percaya bahwa Angui bisa mendatangkan nasib baik dan keberuntungan untuknya. Air muka Angui selalu jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan berlembah. Dahinya lebar dan lurus. Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung. Di ujung-ujung jari itu terdapat kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang memikat adalah adanya tahi lalat yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu dinamakan kumbang bernaung.

Setelah membulatkan tekad,akhirnya saudagar Keling itu menemui Nini Kudampai, Ibu dari Angui. Nini Kudampai sangat terkejut melihat Saudagar itu mendatangi rumahnya. Tanpa berpikir panjang lebar,disampaikannya keinginan sang saudagar itu kepada Nini Kudampai bahwa dia ingin mengasuh anaknya,Angui. Sang saudagar itu mengeluarkan bujuk rayu agar Ibunya mau melepaskan Angui untuk diasuhnya. Alhasil, usaha sang saudagar itu berhasil. Nini Kudampai merelakan anaknya untuk diasuh oleh saudagar kaya itu,itu demi kebaikan Angui kelak. Angui pun tampak senang dengan saudagar itu dan dia mau dijadikan anak asuhnya. Akhirnya mereka sepakat dan saudagar itu segera membawa Angui menuju ke negerinya. Sebagai seorang ibu,Nini Kudampai sangat sedih dan terharu karena harus berpisah dengan Angui. Sebelum berpisah dengan Nini Kudampai, Angui menitipkan ketiga hewan peliharaan kesayangannya itu supaya dirawat dengan baik. Saudagar itu pulang ke negerinya bersama Angui.

Selama menjadi anak asuh saudagar itu, Angui sangat dimanja. Semua keinginannya pasti dikabulkan. Hal itu berdampak buruk terhadap perilaku Angui. Dia tumbuh besar menjadi seseorang yang berperangai pemalas,nakal dan pemboros. Hal itu tentunya sangat merugikan sang saudagar sebagai orang tua angkat. Dia menyesal dengan keputusannya untuk menjadikan Angui anak angkat. Bukannya mendatangkan nasib baik atau keberuntungan, Angui malah menyusahkan dia. Sang saudagar akhirnya mengusir Angui dari rumahnya, tidak menjadikannya anak angkat lagi.

Angui menyesali perbuatannya selama ini. Dia tidak tahu harus pergi kemana,tak ada tujuan dan arah yang jelas. Akhirnya Angui bertekad untuk memeperbaiki sikap buruknya selama ini. Dia ingin menjadi seorang pekerja keras,jujur dan semangat. Pekerjaan apapun dikerjakan oleh Angui asalkan itu masih halal.

Setelah beberapa tahun kemudian, Angui menjadi seorang yang sukses karena berkat kerja keras dan kejujurannya itu. Akhirnya dia menjadi orang paling kaya di negeri Keling itu,bahkan mengalahkan kekayaan saudagar Keling. Dia menjadi semakin tenar setelah dia berhasil menikahi putri dari Raja Keling. Dia akhirnya menggati namanya menjadi  Bambang Padmaraga.

Meskipun sudah menjadi saudagar kaya, dia terkadang merindukan kampung halamannya dan binatang peliharaan kesayangannya. Dia ingin sekali bertemu dengan Ibu kandungnya dan menunjukkan bahwa dia telah menjadi orang sukses.

Suatu hari, Angui mempersiapkan kapal dan anak buahnya untuk berlayar menuju kampung halamannya itu. Dia juga mengajak isteri tercintanya. Kabar bahwa Angui akan kembali ke kampung halamannya terdengar sampai ke seluruh pelosok negeri. Nini Kudampai juga mendengar kabar itu. Dia sangat senang karena tidak lama lagi dia akan bertemu dengan anak kandungnya yang sudah lama berpisah itu.

Suatu ketika Nini Kudampai pergi ke pelabuhan untuk menyambut anaknya. Tidak lupa dia membawa ketiga peliharaan kesayangan Angui semasa kecilnya dulu, yang bertujuan supaya Angui bisa mengenalinya. Setelah kapal Angui merapat ke pelabuhan, Nini Kudampai melihat Angui dan langsung memanggilnya. Sebenarnya Angui mengenali ibunya dan ketiga hewan peliharaannya. Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya karena penampilan ibunya sangat lusuh dan kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia memalingkan muka dan memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengusir Ibunya itu.

Sungguh sedih dan kecewa hati Nini Kudampai setelah dia diusir dan tidak dianggap sebagai Ibu kandung oleh Angui, anak kandungnya sendiri. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah. Tiba di rumah, dia berdoa dan meminta kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar Angui menerima balasan yang setimpal. Nini Kudampai mengutuk Angui.

Sesaat setelah Nini kudampai menyampaikan doannya kepada Tuhan, angin topan pun datang membabi buta. Petir dan halilintar menggelegar membelah bumi. Kilat sabung-menyabung dan langit mendadak gelap gulita. Hujan deras bagai dituang dari langit. Gelombang menggulung kapal bersama Angui dan istri serta anak buahnya. Kapal dan segenap isinya itu terdampar di antara Tambarangan dan Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya berubah menjadi batu.

Itulah sekarang yang dikenal sebagai Gunung Batu Hapu. Yang terdapat di ibu kota Kabupaten Tapin,Propinsi Kalimantan Selatan.

Legenda Gunung Pinang

Dahulu kala, di sebuah perkampungan nelayan di daerah pesisir teluk Banten, hiduplah seorang janda tua. Dia hidup dengan anak laki-lakinya yang bernama Dampu Awang. Setiap hari, Dampu awang bekerja keras mencari kerang di pantai. Hal ini dilakukannya untuk membantu ibunya. Maklum,sejak beberapa tahun lalu, Dampu Awang sudah ditinggal mati oleh Ayahnya,sehingga dia harus membantu ibunya bekerja. Meskipun begitu, hidupnya selalu serba kekurangan.

Akhirnya Dampu Awang mempunyai tekad untuk merantau ke Negeri Malaka. Hal ini dilakukannya agar dia bisa merubah nasib keluarganya. Suatu ketika Dampu Awang menyampaikan keinginannya itu kepada sang Ibu. Setelah menjelaskan hal, Dampu Awang dirundung kecewa karena keinginannya itu ditentang oleh Ibunya. Percuma saja dia berbicara panjang lebar karena sudah pasti sang Ibu tidak merestuinya untuk merantau. Maklum saja, siapa yang nanti akan menemani sang Ibu kalau saja Dampu Awang merantau meningalkan kampungnya. Maka dari itu Ibu  Dampu Awang menentang keras hal itu.

Dengan rasa kecewa yang mendalam, Dampu Awang keluar dari gubuknya. Dia bersandar di bawah pohon nyiur sambil meratapi nasib. Dia tidak habis pikir sang Ibu tidak merestuinya untuk merantau,padahal niat dia baik. Dia menatap kosong ke arah laut sambil merasakan angin pantai dan gelapnya malam. Dia masih berharap bahwa sang Ibu akan mengizinkannya merantau. Dia berdoa kepada Tuhan supaya dibukakan pintu hati sang Ibu agar merestuinya unutk merantau di Negeri Malaka,sehingga dia bisa merubah nasibnya.

Dari balik jendela, sang Ibu memperhatikan Dampu Awang yang tengah bersedih itu. Sang Ibu tak kuasa membendung air matanya. Dia sadar telah mengecewakan anaknya. Dia sudah menentang itikad baik Dampu Awang.

Keesokan harinya, sang Ibu menghampiri Dampu Awang. Dampu menyambutnya dengan suka cita meskipun kemarin sang Ibu telah membuatnya kecewa. Sang Ibu ternyata telah merubah pendiriannya. Dengan berat hati, sang Ibu mengizinkan Dampu Awang untuk merantau ke negeri orang. Ini semua atas keinginan Dampu Awang yang nyata,juga demi kebaikan Dampu Awang nantinya. Dampu Awang sangat gembira mendengar hal itu. Ia tidak mampu membendung perasaan gembira itu. Air mata menetes dari kedua pipinya. Sang Ibu segera menyuruh Dampu Awang untuk mempersiapkan semua bekal yang harus dibawanya untuk merantau. Sang Ibu juga menyuruh Dampu Awang untuk menemui pemilik kapal yang akan berlayar ke Negeri Malaka, Teuku Abu Matsyah besok.

Esoknya, Dampu Awang bergegas untuk menemui Teuku Abu Matsyah di pelabuhan. Dampu Awang menyampaikan keinginannya bahwa dia ingin menumpang kapalnya ke Negeri Malaka,tapi dia tidak bisa membayar karena tidak memiliki uang sepeser pun,jika diizinkan dia akan membayarnya dengan tenaga.

Atas ketulusan hati Dampu Awang, Teuku Abu Matsyah menyetujui keinginan Dampu Awang. Dengan gembira,dia langsung kembali kerumah. Sang Ibu sangat gembira mendengar hal itu.

Di kemudian hari, Dampu Awang bersiap-siap dan pergi ke pelabuhan di temani Ibunya. Di pelabuhan, Teuku Abu Matsyah sudah menunggu bersama kapalnya. Setelah semua siap,berangkatlah kapal itu menuju Negeri Malaka. Ibu Dampu Awang menangis sedih karena harus menerima kenyataan bahwa mereka harus berpisah. Sang Ibu menitipkan kepada Dampu Awang seekor burun perkutut bernama si Ketut,yang merupakan burung peninggalan ayahnya dahulu. Tidak lupa sang ibu mengingatkan sang Anak untuk mengirimkan kabar selama di perantauan.

Sebagai ganti ongkos kapal,Teuku Abu Matsyah menyuruh Dampu Awang untuk membersihkan seluruh seluk beluk kapal. Dampu Awang mengerjakan semua pekerjaan dengan semangat dan rajin. Sang saudagar kaya pemilik kapal itu sampai takjub dan kagum dengan Dampu Awang.

Saat dalam perjalanan, Teuku Abu Matsyah bertanya kepada Dampu Awang kemana dia akan pergi setelah sampai disana nanti. Dampu Awang kebingungan karena dia masih belum tahu dimana dia akan mencari kerja nanti. Akhirnya Teuku Abu Matsyah memberikan tawaran kepadanya untuk bekerja dengannya. Tanpa pikir panjang,Dampu Awang langsung menerima tawaran itu.

Semenjak Dampuk bekerja pada Teuku Abu Matsyah,usahanya semakin maju pesat. Hal itu membuat Teuku semakin kagum dengan Dampu Awang. Sehingga saudagar itu bermaksud untuk menikahkan dia dengan putrinya yang bernama Siti Nurhasanah. Awalnya Dampu Awang menolak dengan halus tawaran itu karena dia merassa tidak pantas menerima hal itu. Tetapi setelah iming-iming harta kekayaan dari sang saudagar,akhirnya Dampu Awang mau menikah dengan Siti Nurhasanah. Akhirnya Dampu Awang dan Siti Nurhasanah menikah. Mereka hidup penuh dengan kebahagiaan. Pada akhirnya dia mewarisi semua harta kekayaan Teuku Abu Matsyah sehingga Dampu Awang menjadi saudagar kaya di Negeri Malaka. Dia hidup dipenuhi dengan kemewahan dan kenikmatan. Hal itu membuat dia lupa akan Ibu dan kampung halamannya. Setelah beberapa tahun kemudian, Dampu Awang merindukan kampung halamannya di Banten.

Suatu hari, berangkatlah Dampu Awang dan Siti Nurhasanah ke Banten dengan menggunakan kapal yang besar dan megah ditemani seluruh pengawalnya. Berita kedatangan saudagar kaya ini sampai tersebar ke Banten. Seluruh rakyat Banten penasaran dan ingin tahu siapa sebenarnya saudagar kaya yang datang itu. Dipelabuhan sudah ramai dipenuhi rakyat yang penasaran melihat saudagar itu. Tak lama kemudian merapatlah kapal besar dan megah itu ke pelabuhan Banten. Tidak kalah penasarannya, Ibu kandung Dampu Awang juga datang ke pelabuhan. Tak disangka ternyata saudagar kaya itu adalah anak kandungnya,Dampu Awang yang ditemani seorang wanita cantik. Sang Ibu bisa mengenalinya meskipun mereka sudah lama berpisah. Dia juga semakin yakin karena di bahu pemuda itu bertengger seekor burung perkutut. Sang Ibu sangat bahagia. Dia kemudian berteriak memanggil Dampu Awang, sambil berharap Dampu masih mengenalinya.

Mendengar teriakan itu,Dampu Awang menoleh dan melihat seorang wanita tua dengan pakaian compang-camping yang mengaku bahwa dia adalah Ibunya. Dia mengalihkan pandangan seolah tidak melihatnya. Dia sangat malu mengakui wanita tua itu sebagai Ibu kandungnya dihadapan istrinya. Siti Nurhasanah bingung bukan kepalang. Kemudian dia bertanya kepada Dampu Awang bahwa apa benar itu adalah Ibunya. Tetapi Dampu Awang  tidak mengakui bahwa itu adalah Ibunya. Dampu Awang geram dengan wanita tua itu. Dampu akhirnya membentak dan mengusirnya.

Wanita tua itu sangat sedih telah diperlakukan anak kandungnya yang sekarang sudak tidak mengakuinya itu. Dia meneteskan air mata sambil tertunduk tak berdaya. Kesabarannya untuk menunggu anaknya dari perantauan selama ini sia-sia. Akhirnya wanita itu memohon sambil duduk bersimpuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam doanya itu,dia mengatakan jika memang pemuda itu bukan putranya maka mereka dapat pergi dengan selamat,tetapi jika memang benar pemuda itu adalah putranya maka celakalah mereka.

Pada saat Dampu Awang dan rombongannya akan meninggalkan pelabuhan Banten, mendadak langit menjadi gelap dan angin bertiup sangat kencang. Bumi bergoncang dan gelombang laut setinggi gunung. Semua penduduk berlarian menyelamatkan diri. Sementara itu kapal besar dan megah Dampu terombang-ambing dihantam gelombang.

Secara ajaib tiba-tiba si Ketut,burung yang dibawa Dampu Awang berbicara. Si Ketut menyuruh Dampu Awang untuk mengakui Ibunya namun Dampu tidak menghiraukannya. Berulang kali si Ketut berbicara kepadanya,namun Dampu tetap menyangkalnya. Tanpa diduga akhirnya angin puyuh datang meliuk-liuk menuju kapal Dampu Awang. Dengan cepat kapal terseret masuk ke dalam pusaran angin dan terbang berputar-putar di udara. Setelah beberapa lama kapal itu terlempar jauh ke arah selatan dan jatuh tertelungkup. Konon katanya kapal itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung dan saat ini dikenal dengan nama Gunung Pinang yang terdapat di Kabupaten Serang,Banten.

Analisis Legenda

Persamaan antara “Legenda Gunung  Batu Hapu” dan “Legenda Gunung Pinang”

Menurut pendapat saya, kesamaan yang mendasar pada kedua legenda sangat jelas terlihat. Pada kedua legenda tersebut memiliki alur yang hampir sama. Diawali dengan seorang anak laki-laki seorang janda yang harus pergi meninggalkan kampung halamannya demi memperbaiki nasib. Kemudian pada perantauannya,mereka berhasil menjadi seorang yang sukses dan kaya raya karena usaha dan kerja keras.  Setelah itu,mereka kembali ke kampung halamannya yang sudah lama ditinggalkan. Sesampainya di kampung halaman, mereka bersikap seolah tidak mengenali Ibu kandungnya atas dasar timbulnya rasa malu untuk mengakui. Hal inilah yang menjadi inti permasalahan pada kedua legenda tersebut,yakni sifat durhaka yang dilakukan terhadap orangtuanya. Pada akhirnya, hal itulah yang membuat mereka menerima kutukan dari orangtuanya. Dapat dikatakan bahwa kedua legenda memiliki tema yang sama yaitu anak yang durhaka kepada orangtua. Kedua  cerita legenda itu juga menggunakan sudut pandang yang sama yaitu sudut pandang orang ketiga serbatahu. Pencerita menggunakan “Dia” untuk menunjukan tokoh utama pada cerita. Pencerita juga mengetahui hal apa saja yang dilakukan tokoh utama,padahal dia berada di luar cerita. Kemudian dari unsur amanat,kedua cerita memiliki kesamaan. Amanat yang terkandung dari kedua cerita legenda itu yaitu jangan pernah menjadi anak yang durhaka kepada orangtua karena hal tersebut akan menimbulkan musibah dan celaka.

Perbedaan antara “Legenda Gunung  Batu Hapu” dan “Legenda Gunung Pinang”

Selain memiliki persamaan, kedua cerita legenda tersebut juga memiliki perbedaan. Kedua cerita legenda itu memiliki latar tempat yang berbeda. Pada “Legenda Gunung Batu Hapu” berlatar tempatdi perbatasan antara dua desa yang bernama Tambarangan dan Lawahan,yang berada di ibu kota Kabupaten Tapin,Propinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan “Legenda Gunung Pinang” berlatar tempat di di sebuah perkampungan nelayan di daerah pesisir teluk Banten (Serang,Banten). Jika disimak secara mendetail,kronologis pada kedua legenda tersebut juga sedikit berbeda. Pada “Legenda Gunung Pinang”,tokoh utama yaitu Dampu Awang sengaja pergi merantau untuk mengubah nasibnya sebelum dia menjadi orang kaya. Sedangkan pada “Legenda Gunung Batu Hapu” tokoh utama, yaitu Angui dijadikan anak angkat oleh saudagar kaya terlebih dahulu sebelum dia menjadi orang kaya.

Kesimpulan

Secara garis besar kedua cerita tersebut memiliki kesamaan. Mungkin perilaku atau budaya masyarakat pada kedua tempat terjadinya legenda itu memiliki kesamaan. Mungkin pada zaman itu banyak anak yang durhaka kepada orangtuanya sehingga muncul kedua cerita tersebut untuk menegur para anak pada zaman itu dan zaman setelahnya agar tidak durhaka kepada orangtuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun