"Suara mereka, masa depan bangsa. Namun, apa jadinya jika suara itu memilih diam?" Kalimat ini mengingatkan kita bahwa suara bukan sekadar hak, melainkan tanggung jawab yang mempengaruhi arah gerak bangsa. Terutama bagi generasi muda, yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan. Namun belakangan ini sebuah fenomena yang mengkhawatirkan mulai muncul yaitu golput, dalam artian generasi muda yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu.
Pemilu seharusnya menjadi momen yang dinantikan oleh setiap warga negara, sebuah pesta demokrasi yang melibatkan setiap elemen bangsa. Bagi generasi muda ini bukan hanya soal memilih calon pemimpin, tetapi juga soal penentu arah kebijakan yang akan membentuk masa depan mereka. Namun survei menunjukkan bahwa angka golput semakin meningkat, sebuah tanda bahwa mereka mulai memilih untuk tidak peduli terhadap proses politik yang berlangsung.
Bayangkan, sebuah kelas sedang mengadakan pemilihan ketua. Di tengah gegap gempita beberapa siswa dengan penuh semangat mencalonkan diri, menyuarakan visi mereka, dan mengajak teman-teman untuk memberikan suara. tapi ada pula beberapa yang memilih untuk diam di sudut kelas menghindari keterlibatan. Jika mayoritas siswa memilih untuk tidak berpartisipasi keputusan kelas akan ditentukan oleh segelintir orang yang bersedia berbicara. Begitu pula dalam pemilu, jika generasi muda memilih untuk golput, maka keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka akan diputuskan oleh generasi yang lebih tua, yang mungkin tidak memiliki perhatian yang sama terhadap isu-isu yang relevan bagi kaum muda, seperti perubahan iklim, pendidikan, dan lapangan pekerjaan.
Di tengah hiruk-pikuk nya kampanye, poster-poster calon pemimpin yang terpampang di setiap sudut wilayah, dan debat kandidat yang memenuhi layar televisi serta media sosial, muncul sekelompok pemuda yang memilih untuk tetap diam. Mereka adalah para golongan putih yang lebih akrab disebut golput. “Golput adalah ekspresi, Bukan sikap apatis terhadap politik!” kalimat ini seringkali terdengar menjelang ajang kontestasi pemilu, terutama di kalangan pemilih muda yaitu gen z dan millenial. Di mata mereka, golput bukan sekadar tidak mencoblos, ini adalah sebuah pernyataan sikap. Sebuah bentuk protes terhadap sistem politik yang mereka anggap sudah tak lagi relevan. Kekecewaan terhadap janji-janji kampanye yang tak kunjung ditepati, praktik politik uang yang merajalela, partai politik yang dianggap lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat, sisanya karena bangun kesiangan dan mager. Saya pikir alasan terakhir ini perlu mendapat perhatian langsung dari negara.
Namun, di balik keputusan itu, ada keraguan yang terus menggerogoti pikiran mereka. Apakah golput benar-benar menjadi solusi yang tepat? Bukankah dengan tidak berpartisipasi mereka justru memberikan ruang bagi sistem yang menurut mereka sudah rusak? Apakah diam saja akan menguntungkan pihak-pihak yang sudah memanfaatkan ketidakpedulian publik? Yap tentu saja, alasan-alasan seperti ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebuah fenomena yang semakin marak di kalangan pemilih muda ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari negara dan masyarakat.
Mari kita ambil contoh kasus pergeseran sikap politik yang terjadi pada partai politik PKS. Dulu dikenal sebagai oposan yang konsisten terhadap pemerintah, kini PKS malah bergabung dengan koalisi yang kerap dianggap sebagai teman oligarki. Pergeseran sikap seperti ini memperburuk pandangan mereka terhadap sistem politik yang ada, bagi sebagian pemuda ini menunjukkan betapa partai politik saat ini seringkali lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan masyarakat luas.
Meskipun terlihat sederhana, sikap golput memiliki dampak besar baik secara langsung terhadap hasil pemilihan, maupun secara tidak langsung pada keberlangsungan pemerintahan. Golput bukan hanya tentang melewatkan kesempatan memilih ini juga membawa konsekuensi serius yang dapat mempengaruhi legitimasi pemerintahan, memperlemah kredibilitas pemilu, hingga membuka celah manipulasi suara. Bayangkan, bagaimana jika kandidat terburuk akhirnya terpilih karena banyaknya suara yang tak digunakan? Aspirasi dan kepentingan rakyat bisa terancam hanya karena segelintir orang berhasil menguasai panggung politik melalui pemilu yang tidak dimanfaatkan maksimal.
Berikut ini adalah dampak nyata dari golput yang patut kita pikirkan kembali.
Terpilihnya Kandidat yang Tidak Kredibel
Dalam pemilu, satu suara memiliki pengaruh yang besar. Jika banyak orang memilih golput, peluang kandidat yang tidak kompeten atu tidak kredibel untuk menang justru semakin besar. Sikap inilah secara tidak langsung, menyerahkan masa depan bangsa kepada pilihan yang terburuk.Terhambatnya Pembangunan
Kurangnya partisipasi dalam pemilu mencerminkan minimnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah terpilih. Hal ini dapat berdampak pada lambatnya pembangunan karena kurangnya legitimasi dan partisipasi rakyat dari pemimpin yang terpilih.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!