Mohon tunggu...
Difa Giantara
Difa Giantara Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Suka nulis, sama suka kamu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demi Celurit, Batu, dan Mistar Pelajar

3 Juli 2024   17:32 Diperbarui: 3 Juli 2024   17:53 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lampu-lampu jalan mulai menyala di sepanjang Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur. Sore yang mulai gelap tidak menyurutkan semangat Ilham (22) untuk bercerita. Matanya menyiratkan campuran nostalgia dan penyesalan saat ia mulai membuka lembar kelam masa lalunya sebagai siswa STM yang kerap terlibat tawuran.

"Dulu, jam segini kita udah siap-siap," ujar Ilham dengan suara pelan. Bukan persiapan pulang atau belajar yang ia maksud, melainkan ritual brutal yang telah menjadi trademark siswa STM: tawuran antar pelajar.

Ilham, kini mahasiswa semester akhir di sebuah universitas swasta di Jakarta, mengaku pernah menjadi "jagoan" dalam aksi tawuran selama tiga tahun bersekolah di salah satu STM ternama di Jakarta Timur. Ia menceritakan bagaimana celurit, batu, dan mistar menjadi "senjata suci" dalam pertempuran yang kerap memakan korban.

"Celurit itu senjata yang paling sering dibawa, karena enteng sama kecil juga jadi gampang di umpetin" Ilham menjelaskan dengan nada datar. "Tapi yang paling sering dibawa selain celurit justru batu sama mistar. Batu bisa bikin kepala bocor, mistar bisa mematahkan tulang, kalo untuk senjata tajam masih ada juga kayak klewang atau golok"

Ilham menggambarkan dengan detail bagaimana ia dan teman-temannya memodifikasi mistar besi menjadi senjata mematikan. "Kita pasang baju di ujungnya buat pegangan biar gak licin" ungkapnya. Motivasi di balik aksi kekerasan ini beragam dan terkadang sulit dipahami oleh logika orang dewasa. Mulai dari membela harga diri sekolah, balas dendam, hingga alasan sepele seperti kalah dalam pertandingan futsal antar sekolah.

"Pernah ada yang tewas dan jadi cacat juga ada" Ilham bercerita dengan suara bergetar. "Biasanya waktu ospek suka ada tawuran, tapi kalo yang paling besar tuh pas sekolahan ulang tahun."

Namun di balik topeng keberanian dan aksi brutal, Ilham mengaku bahwa ketakutan selalu membayangi. "Setiap mau tawuran, kita selalu mengingatkan kalau ada yang jatuh harus putar balik buat nolongin" ungkapnya.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan tren mengerikan. Sepanjang tahun 2023, tercatat lebih dari 250 kasus tawuran pelajar di seluruh Indonesia, dengan Jakarta menyumbang hampir 40% dari total kasus. Yang lebih memprihatinkan, 15% dari kasus tersebut mengakibatkan korban jiwa.

Serda Ihsan, personel TNI AD yang bertugas di Direktorat Hukum Angkatan Darat, mengungkapkan keprihatinannya atas fenomena ini. "Ini sudah seperti perang saudara kecil-kecilan," ujarnya. "Bedanya, mereka bukan membela negara, tapi malah menghancurkan masa depan sendiri."

Serda Ihsan menjelaskan bahwa pihak TNI AD sering diminta bantuan oleh kepolisian untuk memberikan pembinaan mental kepada para pelajar yang terlibat tawuran. "Kami coba tanamkan jiwa nasionalisme, agar energi mereka bisa disalurkan untuk hal-hal positif," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun