Covid-19 sudah waktunya berulang tahun, sejak 2020 Indonesia sudah tak karuan, masyarakat banyak yang terpenjara. Bahkan tidak bisa apa-apa.
Sebab Covid-19 Bapakku, seorang penambang harus menghabiskan waktunya selama berbulan-bulan di rumah. Akhirnya aku bisa apa, berserah kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya.
Aku seorang mahasiswa dari jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Jakarta semester 4, membutuhkan biaya yang cukup lumayan untuk menyambung hidup dan tetap berkuliah. Bagaimana tidak kuliah boleh secara daring tapi soal UKT?? Dosen masih tetap harus mengajar kan?. Tidak seperti bapakku.Â
Menunggu terus menunggu panggilan untuk dapat bekerja lagi di Sumatra, Bapakku seorang juru ledak di perusahaan tambang. Blaster nama kerennya. Iya.. setiap hari, di rumah bapakku selalu melihat email, atau grup whatsapp nya, menunggu kabar, kapan ia harus kembali mendapatkan gajih yang selayaknya manusia berkeluarga dengan satu istri dan dua orang anak yang memiliki perut tentunya, yang harus dicukupi kebutuhan primer dan sekundernya.
Ibuku, manusia terkuat tidak pernah hentinya mendoakan selalu, berharap keadaan keluarga kami kembali seperti semula. Ibuku ingin melihat aku bahagia, adikku merasa istimewa, namun aku sadar aku sudah dewasa, mungkin sebelum aku, adikku lebih penting saat ini. Bagaimana tidak, dia sedang berada dalam masa pertumbuhan, mau ini, mau itu.. bahkan makan saja tidak bisa kalau tidak ada ayam.
Satu hari aku merasa lelah juga, hidup dalam keadaan seperti ini, mungkin dibilang putus asa, memang terasa, dibilang depresi memang terjadi. Setiap hari permasalahan datang pada keluarga kami. Tertekan sudah bukan sebuah alasan. Bapakku tidak pernah mau menerima bantuan, se peser pun kami tidak terima, menurutnya masih banyak yang lebih membutuhkan, ketika ada pinjaman bapakku dengan lantang menolaknya " Pinjam-pinjam.. kalau saatnya bayar kita tidak ada uang, mau bagaimana???"Â
" Gak apa-apa gak dapet bantuan, gak perlu jadi pengemis, dikasih terima gak dikasih yasudah, kita belum butuh itu, masih banyak di luar sana yang membutuhkan". Iya begitu katanya. Namun saatnya tiba, aku diharuskan membayar UKT, yang dilakukan bapak adalah meminjam uang pada sahabat baiknya. Iya tentu saja ibu yang menjadi beban pikiran, ibu selalu menjadi orang yang mudah stres kalo berbicara soal uang. Apa lagi dalam keadaan miskin seperti ini apakah masih ada orang yang peduli? Bahkan terkadang saudara saja tidak bisa melihat kita, entah memang buta atau pura-pura tidak melihat saja, agar tidak usah kami repotkan.
Terkadang aku menggerutu pada Tuhan, dengan tetesan air mata di pipi sambil memeluk guling di pertengahan malam yang katanya waktu yang paling pas untuk overthingking "Â Tuhan.. kenapa hidup harus sesulit ini, kenapa harus serumit ini. Tuhan aku akan melakukan satu hal jika Tuhan mengabulkan doaku untuk segera memberangkatkan bapak bekerja lagi.. Tuhan aku ingin hidup senang seperti dulu, melihat ibu tersenyum, adik bahagia, harus bagaimana lagi aku Tuhan??" dengan kata-kata yang sama terus terulang-ulang di lubuk hati. Dengan tidak sadar aku sudah bernazar dan harus melakukannya jika terkabul satu saat nanti. Ternyata aku salah. Saat ini seharusnya aku bisa bersyukur. Dengan keadaan seperti ini ternyata aku lebih bahagia, bangun tidur melihat ibu sedang sujud menyembah Tuhan, Bapak sedang duduk sambil melantunkan doa-doa, itu adalah salah satu hal yang membahagiakan tanpa disadari. Dan mungkin hal-hal yang terkadang orang pikir tidak ada apa-apanya ternyata dapat membuat kami bahagia. Setidaknya membuat kami selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan.
Dan pada akhirnya sahabat baik bapakku, meminta bantuan kepada bapakku, ia akan membuka usaha barunya, dan membutuhkan uang juga. Karena bapak rasa berhutang budi padanya dengan ikhlasnya bapak meminjamkan BPKB mobil kami sebagai jaminan untuk pinjamannya. Dan tentu saja, selalu kembali rasa bersalah, rasa kesal, menyesal ketika harus berhadapan dengan uang. Apakah uang begitu berpengaruhnya pada kehidupan manusia? Nyatanya pepatah "Uang bukan segalanya, tapi segalanya memang butuh uang" itu benar adanya. Hampir setiap bulan mungkin aku merasa depresi. "Memang sialan covid ini!!" hatiku menggerutu.Â
"Aku bukan anak pejabat! Bapakku bukan pengusaha! Hidupku sudah susah! Kau mau buat susah lagi! Kurang apa aku Tuhan?! Aku rasa selama ini aku sudah sabar, harus sampai mana aku bersabar?! Aku cape Tuhan!!". Berdosa sekali aku saat itu. Tapi aku selalu melakukan kesalahan itu. Menuduh bapakku dia tidak serius, tidak berusaha untuk bisa bekerja lagi, padahal bapakku dengan berat hati harus melamar pekerjaan kembali, namun memang sudah 2 perusahaan yang ia lamar, namun tidak ada hasil. Sulit sekali rasanya menjalani hidup ini.
Pada satu masa  aku sudah lelah berharap, beribadah pun sudah sedikit malas, padahal tidak baik seperti itu tetapi dengan sabarnya ibu selalu membuat aku bersemangat kembali. "Â
Gimana mau cepet Tuhan kabulkan doanya kalau disuruh beribadah aja males-malesan" kata ibu sambil merapikan alat untuk beribadah, dengan menyebalkannya aku menjawab " Ah cepet ga cepet, tepat waktu ga tepat waktunya ibadah, sama aja.. coba dari kemaren-kemaren mana emang Tuhan ngabulin apa yang aku mau".Â
Dengan sedikit nada tinggi " Eh gaboleh gitu! Pamali ih!". Saking lelahnya aku harus terus berkutik di permasalahan seperti ini. Namun pada akhirnya ibu juga punya batas sabarnya, selalu bete ketika melihat bapak, cape ingin ini susah, ingin itu susah, selalu harus menunggu punya uang dahulu padahal hanya ingin membeli sepasang sepatu, tapi ibu tidak pernah lelah beribadah. Tapi kalian dapat merasakan juga kan? Jika ibu atau bapak kalian sudah mengeluh, dan curhat terhadap kalian namun kalian tidak dan belum bisa apa-apa. Sakit hati pasti berada dalam keadaan seperti itu.
Ternyata setelah ditelusuri lebih jauh kenapa bapakku tidak bisa berangkat kembali ke Sumatera, sebab semuanya dipersulit karena adanya covid-19 ini, bayangkan saja, harus tes swab yang membutuhkan biaya yang lumayan merogoh kocek kantong kami, juga ketika sampai sana bapak harus menjalankan isolasi mandiri beberapa hari, jika ternyata bapak amit-amitnya membawa virus, kasihan juga bapak di sana, kami yang berada di rumah juga pasti khawatir. Selain itu perusahaan jika ingin dijalankan kembali harus memiliki perizinan yang ketat, itulah salah satu hal yang membuat semuanya sulit seperti sekarang, namun apa boleh buat, gajih RP 3.000.000,- dengan ibu hanya seorang ibu rumah tangga dan kami tidak memiliki bisnis apa-apa tidak ada pemasukan lain, dan aku harus tetap bayar kuliah dan tidak mendapatkan bantuan apa-apa sebab persyaratannya yang rumit.Â
Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tagihan listrik, tagihan TV, pembelian kuota, walau wifi kami menumpang kepada saudara dengan membayar 100.000 per bulan, dengan sinyal yang hanya sampai di depan rumah dan kamar ibu saja. Juga cicilan gawai adikku sebab gawai lamanya diberikan kepada bapak karena gawai bapak rusak dalam keadaan genting seperti ini. Iya inilah hidup yang malang si anak penambang. Mau bagaimanapun kita harus tetap mensyukuri bukan apa yang sudah Tuhan takdirkan?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H