Ketika kita mendengar kata “Aceh”, maka akan banyak hal yang pertama kali terlintas di pikiran kita masing-masing. Sebagian dari kita ada yang membayangkan tentang satu provinsi di ujung barat Indonesia, sebagian lagi ada yang membayangkan tentang Bumi Serambi Mekkah yang kental nuansa keagamaannya, dan berbagai hal positif lain yang kita pikirkan tentang Aceh. Ada positif, ada juga negatif. Teringat sebuah kejadian masa lalu yang belum sirna dari ingatan ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menciptakan suasana yang tidak kondusif di Aceh. Mulai dari 4 Desember 1976 ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh, tahun 1980-an ketika GAM merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) dengan mengirim kader mereka ke Libya untuk latihan militer, hingga penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan tindak penumpasan berskala besar yang belakangan memicu keberatan publik terhadap pemerintah di Jakarta.
Konflik tersebut pada akhirnya dituntaskan dengan penandatanganan kesepahaman damai di Helsinki (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005 oleh Pemerintah RI dan GAM . Dalam perjanjian tersebut Pemerintah RI diwakili Hamid Awaludin (ketika itu menjabat sebagai Menkumham) sedangkan GAM diwakili Tengku Malik Mahmud. Sejak tinta perdamaian itu ditorehkan di atas kertas, konflik bersenjata berkepanjangan yang mendera Aceh hingga menimbulkan korban jiwa berangsur-angsur pulih. Kini, MoU itu pun telah berumur enam tahun lebih dan kondisi Bumi Serambi Mekkah masih tetap kondusif dari berbagai pergolakan konflik masa silam.
Aceh dihadapkan pada fase mengisi perdamaian dengan berbagai karya nyata pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu langkah untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan pergantian kepala daerah secara teratur. Pilkada Aceh 2006 telah membuktikan bahwa kondisi pasca konflik tidak lantas membuat pergantian kepala daerah menjadi sumbu konflik yang bisa meledak sewaktu-waktu. Suasana aman dan damai yang menjadi harapan seluruh masyarakat Aceh pada Pilkada 2006, telah berhasil terwujud berkat kerjasama yang baik dari seluruh elemen masyarakat hingga pemerintahan.
Pilkada Aceh 2012 yang merupakan pergantian kepala daerah edisi kedua pasca konflik, nantinya akan memilih gubernur dan wakil gubernur yang dilaksanakan serentak dengan pemilihan 17 bupati/walikota dan para wakilnya di Provinsi tersebut. Walaupun sempat tertunda dari jadwal semula yakni akhir 2011, namun tidak menyurutkan niat dari masyarakat untuk memilih kepala daerahnya. Sebab berdasarkan pengalaman 2006, Pilkada yang damai tersebut dibuktikan oleh Pemerintahan Aceh terpilih dengan melakukan berbagai terobosan dalam upaya mendongkrak taraf hidup rakyat Aceh. Beberapa program diantaranya adalah program beasiswa kepada ribuan anak yatim korban konflik dan korban tsunami yang telah digagas sejak 2008-2010. Kemudian, diluncurkan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) pada 2010. Selain itu, pemerintah juga telah mengirim lebih dari 1.000 mahasiswa Aceh ke luar negeri menggunakan bantuan beasiswa yang disalurkan Pemerintah Aceh melalui Komisi Beasiswa Aceh (KBA). Pengalaman masa lalu itulah yang kemudian menjadi harapan masyarakat Aceh agar Pilkada 2012 nantinya bisa berlangsung aman dan damai. Peran aktif dari seluruh elemen masyarakat diharapkan dapat terwujud sehingga kepala daerah yang terpilih dapat membangun Aceh demi kesejahteraan masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H