“Lebih baik suatu akhiran dengan teror daripada teror yang tanpa akhir!” Teriakan tersebut menguap dari mulut para borjuasi dalam parlemen yang memimpin rakyatnya secara otoriter. Mereka tengah dikoyak-koyak kecemasan. Teror bisa berupa apa saja. Bom bunuh diri, pembajakan pesawat, vandal, poster, selebaran gelap, puisi, cerpen, dan sebagainya. Pada mulanya teror selalu disertai enigma. Ketika dibongkar. Seluruh isi teror merupakan akibat dari tak diterimanya pendapat.
Ide bisa menjadi awal persoalan. Ketika ditekan justru akan semakin menjalar ke mana-mana. Banyak orang beranggapan bahwa diam akan menghasilkan kekosongan belaka. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Di dalam diam, kebisingan akan berkembang biak. Semakin dekat pada inti kekosongan, maka perenungan secara bertahap akan menemui sisi radikalnya. Serupa dengan keberanian untuk menjemput akar persoalan.
Sebuah ide akan terkoneksi dengan lingkungan sosial terdekatnya. Satu dengan lainnya bukan akan menjatuhkan ide tiap personal. Pada realitasnya justru masing-masing dari personal akan memasaknya. Sama halnya dengan bola salju. Semakin jauh digelindingkan, maka akan semakin besar.
Dalam beberapa sendi waktu, sebuah ide kemudian akan menempuh jalur manifestonya masing-masing. Semacam akumulasi yang diterjemahkan dalam konsep kerja. Ketika dieksekusi, ide akan beranjak dari masa silamnya. Ide akan hadir dalam bentuk produk atau karya. Sedangkan sebagian dari manifestasi ide akan dipersepsikan sebagai kritik.
Di luar lingkaran kritik, terjadi kebebalan dan saling tumpang tindihnya hasrat untuk mendominasi. Watak monopoli. Salah satu bagian dari prakteknya akan muncul di dalam instiusi pendidikan, kampus misalnya. Jejaring birokrasi yang di-boneka-kan dalam sruktur organisasi, akan mendikte para mahasiswanya. Tujuannya sebenarnya lebih dari untuk melakukan kontroling. Mereka terasuki hasrat untuk merobotkan para mahasiswanya. Menyulap institusi pendidikan serupa gereja-gereja di abad pertengahan. Menjadi pusat bagi perumusan kebenaran. Apa saja yang dititahkan oleh gereja akan menjadi kebenaran mutlak.
Di luar elit gereja abad pertengahan. Siapapun yang tergerak untuk mendefinisikan sesuatu akan segera dibungkam. Dihukum tanpa perlu proses peradilan. Tentu saja karena harus gereja saja yang menjadi mesin pendefinisi tunggal. Barangkali insitusi pendidikan kita mengadopsi banyak hal dari aib abad pertengahan itu.
Peraturan menjadi formulasi yang disusun untuk menggerakkan objek sesuai keinginan. Dibuat linier dengan halusinasi untuk memonopoli kebenaran dan mengacuhkan perbedaan pendapat.
Pada dasarnya tidak ada sebuah peraturan yang hadir dengan sendirinya. Seonggok jagung tak akan tumbuh dengan sendirinya di dalam kamar, tanpa terlebih dahulu kita mengambil bibitnya di ladang. Peraturan macam apapun tak tumbuh di liang prakondisi. Selalu saja lahir setelah memahami kondisi masyarakat yang akan diaturnya. Setelah itu dihidupkan melalui konsensus. Bisa jadi mereka yang tak sepakat dengan hal ini merupakan orang-orang sisa-sisa kejayaan kolonial. Menjadi yang dominan atau pusat kebenaran. Menganut pola pikir persis raja-raja Jawa.
Bagi Mao Zedong, manusia bukanlah suatu ‘produk yang sudah jadi’. Ia hidup dan berkembang dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan di sekelilingnya, terutama lewat pendidikan. Melalui pendidikan, kesadaran sosial seseorang dapat dibentuk. Institusi pendidikan menjadi sendi yang srategis. Meskipun sekaligus menjadi yang paling rentan. Dari sanalah asal mula kebudayaan.
Harusnya ruang pendidikan kita bukan melulu menghapal rumus atau menyimak ceramah. Cobalah beranjak sejengkal saja. Pancing para peserta didik untuk terbiasa berpendapat. Tak hanya itu, buatlah mereka bertanggung jawab pada pendapatnya. Menjadikan peserta didik berposisi setara dengan dosen akan memaksimalkan budaya kritik. Dari sanalah dialektika baru bisa mengalir.
Segala perlakuan dalam Institusi pendidikan dan unsur-unsur demokrasi, tidak dapat dipisahkan. Berjalan beriringan. Saling mengisi dan memperbaiki. Perbedaan pendapat merupakan bagian dari demokrasi. Seharusnya antar penyampai pendapat tidak saling menjatuhkan. Akan tetapi yang perlu dilakukan ialah menemukan titik temu dari beragam kritik. Semacam upaya untuk mendialogkan ulang secara rasional. Seluruh perangkat perbedaan dari tiap personal akan bermigrasi dengan menyisir alur kompromis tersebut.