Mohon tunggu...
Dieqy Hasbi Widhana
Dieqy Hasbi Widhana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dieqy Hasbi Widhana, lahir di Kota Surabaya dan sekarang tinggal di Jember, 03 November 1989. Suka menulis esai, berpuisi, membaca, berdiskusi, dan fotografi. Sebagian puisinya terbit di Radar Jember, Radar Bromo, Buletin Sastra Pawon, Bali Post, Majalah Ekspresi, Ceritanet.com, indonesiaseni.com. Selain itu beberapa puisinya juga tersimpan di antologi bersama Menjemput Senja (2011), Indonesia Berkaca (2011), Agonia: Antologi Jogja-Jember (2012).Seorang Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember, Jawa Timur. Berkegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa Sastra Ideas, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Jember, dan Komunitas Seni Babebo[zine]. Email: revolusi.permanen@gmail.com atau hw.dicqey@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Elit Kampus Antikritik

8 April 2014   14:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat akan lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka dengan pendidikan ktiris. Bagi freire, pendidikan bukan hanya melahirkan manusia untuk sekedar ‘mengetahui’ kemudian menghimpun pengetahuan, Banking Concept of Education, Sistem Pendidikan Gaya Bank, menerima dan menyimpan tanpa mengkritisi berbagai macam konsep, teori, informasi, data. Kaum terdidik harus mampu mengkritisi sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, tak hanya menyimpan wacana pendidikan, namun menguji pengetahuanya di wilayah empiris. Berupaya mengangkat hak kelas tertindas menuju kelas yang setara dengan masyarakat lainya.

Kurikulum dan tumpukan tugas dari institusi pendidikan memang menjadikan kita manusia yang dehumanis. Menjauhkan kita dari realita di luar institusi an sich. Tanpa kita sadari konsumen institusi pendidikan terbelenggu dalam ruang kecil. Seakan kita punya dunia sendiri di luar dunia nyata. Negeri di atas awan.

Kontradiksi disiplin ilmu tak pernah kita temukan di masyarakat jika tak ada perintah dari skenario kurikulum untuk mempraktekkanya. Tentunya hanya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang siap memberi kejutan pada pasar. Bukan hal yang aneh jika saya mengatakan, kita berenang dalam institusi pendidikan agar siap menjadi pekerja bagi pemodal asing yang mengeruk kekayaan negri ini. Apakah ijazah hanya dicari untuk memenuhi hasrat individualis, tanpa sedikitpun terdapat kadar nurani dalam jiwa kita yang berkeinginan untuk mendonorkanya pada masyarakat?

Pernahkah kita berpikir, atau bereksperimen untuk menciptakan formulasi kurikulum, yang dapat membakar rasa cinta terhadap tanah air. Dengan kata lain, bagaimana agar pendidikan menciptakan kepekaan tinggi pada kepentingan bangsa di atas kepentingan individu. Pendidikan yang membawa misi kemanusiaan yang menyelamatkan bangsa dari konflik suku, agama, ras, dan adat istiadat (SARA). Membangun pondasi bangsa yang berbalut nilai-nilai kedamaian di tengah heterogenitas budaya. Pendidikan juga harus bisa menumbuhkan semangat nasionalisme. Berupaya sekuat tenaga untuk menanamkan rasa persaudaraan, kesetiakawanan, persamaan, dan perasaan senasib. Nah, para elit birokrat FS-UJ saya rasa tak pernah mendapatkan formulasi kurikulum semacam ini.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun