Suatu hari, saya memutuskan untuk lebih mengenal kampus tempat saya menimba ilmu. Salah satunya dengan cara mengunjungi Museum Universitas Gadjah Mada. Saya cukup penasaran bagaimana bentukan museum dari universitas terbaik di Indonesia ini, termasuk koleksi apa saja yang sudah dikumpulkan. Meski di website resminya sudah dijelaskan Informasi beserta gambar-gambar koleksi yang ada, saya tidak bisa hanya dengan melihatnya dari internet. Terlebih lokasi Museum UGM begitu dekat dengan fakultas tempat saya menjalani kelas setiap harinya. Alhasil, usai kelas perkuliahan hari ini, saya langsung pergi jalan kaki menuju museum tersebut.
Menurut hitungan Google Maps, jarak dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Museum Universitas Gadjah Mada sekitar 900 meter. Saya berjalan tidak sampai sepuluh menit dan sudah tiba di area depan museum. Di halamannya yang penuh rumput hijau, terdapat bongkahan huruf setinggi kurang lebih 1,5 meter yang saya tidak tahu terbuat dari apa. Intinya, itu berlapis warna kuning keemasan seperti warna kuning pada logo Universitas Gadjah Mada dan sangat silau saat diterpa cahaya. Jika hurufnya disambung, maka akan terbaca "Museum UGM".
Memasuki front office, seorang petugas perempuan yang semula bercengkerama bersama rekannya, menghentikan aktivitasnya, kemudian menghampiri saya. Dia menyapa sembari tersenyum ramah, membuat saya merasa sangat disambut. Saya juga dihadapkan sebuah komputer layar sentuh untuk mengisi daftar kehadiran. Kemudian, satu fakta baru yang baru saya ketahui adalah bahwa kunjungan ke Museum UGM ini gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun. Bahkan setelah berbincang singkat, petugas tersebut juga menginformasikan bahwa biaya parkir bagi pengunjung museum juga nol rupiah alias gratis.
Setelah sukses registrasi, saya langsung diarahkan rute ruangan untuk memulai penjelajahan. Saya merasa terbantu oleh denah ruangan. Museum ini memiliki beberapa bagian ruang. Yang pertama yaitu "Di Tengah Perjuangan (1946-1949)". Ruang ini berisikan koleksi-koleksi yang menceritakan awal perintisan Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya, bagian ruang kedua "Meletakkan Dasar Pendidikan (1949-1960)". Ruangan ini memuat beragam koleksi terkait kontribusi seorang pelajar. Kemudian, pada bagian ruang ketiga "Membangun Peradaban Bangsa (1961-1982)" menyimpan koleksi yang mengisahkan peradaban dengan adanya bermacam-macam penemuan teknologi, misalnya tempos tikus. Lalu pada bagian ruang keempat "Menjadi Universitas Dunia (1982-2002)", saya diperlihatkan koleksi-koleksi terkait peninggalan alumni seperti karya tulis. Lanjut pada bagian ruang selanjutnya , yaitu "Menjunjung Martabat Bangsa (2002-2017)". Pada bagian ruang ini terdapat koleksi berupa inovasi teknologi terbaru yang dikembangkan. Kemudian bagian ruang terakhir, "Hidup di Bulaksumur". Ruang ini memamerkan kisah bangunan yang ada di Bulaksumur beserta orang-orang berpengaruh yang pernah singgah di sana. Saya dapat melihat satu per satu koleksi di Museum UGM. Mulai dari sejarah, makna logo, sampai penemuan-penemuan dari alumni sebelumnya. Menakjubkan pula tatkala membaca kisah beberapa tokoh aktivis di Universitas Gadjah Mada. Di sini memuat banyak informasi yang membuat saya tergugah dan merasa bangga.
Setelah berjalan agak lama, saya memutuskan duduk di salah satu kursi yang untungnya memang disediakan untuk pengunjung beristirahat. Menurut saya, suasana di sini cukup unik karena benar-benar sepi kecuali suara langkah kaki dari pengunjung lain. Saya pikir biasanya museum menyajikan audio seperti musik, tetapi ini tidak. Sangat tenang dan bagus untuk menjernihkan pikiran. Sementara itu, pandangan saya tertuju pada kaca transparan yang membungkus barang koleksi. Itu agak disayangkan karena saya jadi tidak dapat menyentuhnya, tapi perlindungan seperti itu jauh lebih aman daripada koleksi mengalami kerusakan akibat tangan-tangan nakal.
Saya pun teringat perkataan petugas yang bertugas di front office tadi, katanya setiap pengunjung dapat mencoba jas almamater Universitas Gadjah Mada yang dipajang. Almamater tersebut berbeda desain dan bahan dari tahun ke tahun. Waktunya berjarak agak panjang untuk menjadi almamater yang sekarang. Namun, sebagian besar pengunjung tidak tertarik untuk mencobanya. Saya pikir, Museum UGM sudah berusaha menerapkan konsep yang interaktif. Hanya saja tidak semua pengunjung menganggap itu sebagai suatu hal yang menarik.
Kepala saya agak mendongak, mengamati langit-langit museum. Beberapa bagian atap ada yang kurang terawat (banyak sarang laba-laba dan catnya mengelupas). Sepertinya  bangunan museum perlu direnovasi atau ditingkatkan lagi. Meski terdiri dari satu lantai, saya pikir akan bagus kalau atapnya sedikit ditinggikan. Atap yang terlalu pendek bisa membuat para pengunjung kepanasan dan pengap. Kalau perlu, tambahkan lagi pendingin ruangan agar suhunya semakin sejuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H