Mohon tunggu...
Dien Makmur
Dien Makmur Mohon Tunggu... -

https://www.facebook.com/senja.d.kintamani

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Musim Nyasar

26 September 2012   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

barangkali ini gerimis yang paling ritmis
--jika tak bisa disebut dengan rintik yang paling mercik

aku telah sampai, sampai pada apa yang mereka katakan besar
--ya! gigil yang kian besar, misteri yang kian besar pula

sudikah kiranya engkau jalan bergandeng?
--sekadar untuk dendangkan tembang penghantar musim nyasar

Bukan hal mudah tentunya, menyepadaankan persepsi bernilai estetis, ketika berpuluh problematik mengkristal menjadi sebuah wasangka, lalu menjadi momok kelanggengan sebuah hubungan. Kendati semua kunci itu terletak pada hati, namun jawaban pelak kerap kita temukan. Saking sudah membatunya ego pada diri pribadi--mungkin--acap kali kita tak sadari bahwa indahnya bahasa komunikasi ternyata betapa sungguh membantu dalam mencermati serta mengurai kekusutan yang ada. Maka tentu tak keliru jika aku senantiasa berharap padamu, "Mulai sekarang berkomunikasihlah dengan bahasa cinta, dik!"

Awalnya aku berpikir kalau ini sudah berjalan setahun, kehilangan sapa, senyum serta canda tawamu, namun setelah kuperhatikan kembali lingkaran almanak yang menempel pada dinding ruang tengah, ternyata ini baru beberapa pekan, aku melewati sepi tanpa kebersamaan. Putaran jamkah yang menjadi lambat, atau laju kerinduan ini yang melewati batas kecepatan normalnya? Atau juga ini yang dinamakan musim nyasar?

Malam ini, aku ingin menyapamu penuh lembut, seperti kelembutan kapuk menyentuh tanah basah di bawah pohon randu. "Mendekatlah! Bukankah malam ini engkau juga merindukan kecupan lembut bibirku pada keningmu? Seperti yang biasa aku lakukan menjelang makan malam di meja makan" Ah! Kenapa juga malam ini aku berharap bisa melihatmu mengenakan baju tidur warna putih berenda. Ya! Baju tidur hadiah yang kuberikan saat ulang tahunmu. Seperti waktu itu: aku menemanimu berbincang hingga pagi di ruang tengah, ketika penghuni rumah yang lainnya bepergian keluar kota. "Dik, malam itu kau terlihat sangat anggun"

Dan baju tidur itu pula yang mengingatkanku, tentang cumbuan kita yang semakin menggila dan hampir lupa daratan, beruntunglah bisikanmu berhasil membuatku sadar

"Jangan sekarang please...."

DM/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun