Myanmar atau Burma masih 'seumuran' Indonesia. Rangoon merdeka dari Inggris pada 1948, selisih tiga tahun dengan negara kita. Tapi negeri seribu pagoda itu terus berkelindan dengan isu kudeta.
KUDETAÂ militer kembali terjadi di Myanmar, pada Senin (01/02/2021). Mengagetkan tetapi tidak mengejutkan. Kudeta dan kekuasaan militer merupakan 'kejadian lumrah' di sana. Selama puluhan tahun negara dengan mayoritas Budha itu berada di bawah kontrol ketat militer.
Baru enam silam atau tepatnya 2015 Myanmar mengadakan pemilu terbuka. Yang membawa partai Aung San Suu Kyi memimpin negara itu.
Warga pun kembali dibayang-banyangi ingatan tentang kekerasan militer di masa silam. Tahun 1988, militer juga melakukan kudeta. Kyaw Than Win, 67 tahun, belum melupakan ingatan atas peristiwa itu. Dia bermukim di Min Bu, sebuah kota di kawasan tengah Myanmar.
Waktu itu serangkaian penembakan dan kekerasan meletup di berbagai kota. Tetapi atmosfer Min Bu sebenarnya relatif lengang dan tenang, menurut cerita Kyaw. Setelah kudeta, cerita Kyaw, mayoritas warga meneruskan kehidupan secara normal. Meski demikian, dia menyebut rakyat enggan berbicara kudeta secara terbuka.
"Kami kembali bekerja seperti biasa. Beberapa pegawai negeri yang terlibat unjuk rasa menentang kudeta diberhentikan. Sebagian dipindahkan atau mendapat penurunan pangkat. Tetapi ada juga yang ditahan," kata Kyaw.
Warga lain menganggap kudeta militer kali ini bagaikan kenangan yang datang kembali. "Seperti deja vu, kami seperti kembali ke masa lalu," kata seorang warga Myanmar berusia 25 tahun kepada BBC.
Militer menangkap dan menahan Suu Kyi dan sejumlah sekutu politik dekatnya, Senin pagi. Kudeta dilancarkan ketika parlemen dijadwalkan menggelar sidang untuk mengesahkan hasil pemilu yang telah digelar November tahun lalu. Partai dukungan Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) meraup lebih dari 80 persen suara.
Apa masalahnya jika LND menang mutlak? Apakah militer terancam? Berdasar konstitusi, militer otomatis menduduki 25 persen kursi parlemen. Militer juga mendapat jatah tiga kementerian penting, yakni bidang pertahanan, bidang dalam negeri, dan urusan perbatasan.
Perubahan konstitusi untuk 'menggusur' peran militer dari politik memang mungkin, tetapi sulit. Amandemen UUD harus disetujui setidaknya 75% suara, sedangkan militer menguasai 25 persen suara. Pemilu di Myanmar sendiri menganut sistem multipartai.
Suu Kyi bukanlah penguasa formal negara itu. Konstitusi melarangnya menjadi presiden karena memiliki anak berkebangsaan asing. Putri pahlawan kemerdekaan Jendral Aung San itu 'hanya' berstatus sebagai 'penasihat negara'. Tetapi sang presiden Win Myint adalah ajudan dekatnya. Ha ha ha..., apakah kita bisa menyebutnya sebagai presiden boneka?