Bunuh diri merupakan salah satu tindak usaha penghilangan kematian yang dilakukan secara sengaja. Akhir-akhir ini berita bunuh diri kerap didengar dan dibaca oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai jenis alasan penyebabnya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong meningkatnya angka bunuh diri sehingga terdapat kecenderungan bahwa kebanyakan orang yang bunuh diri tinggal di perkotaan dibandingkan pedesaan. Namun, hingga saat ini tidak ada alasan pasti penyebab bunuh diri. Permasalahan pada korban bunuh diri merupakan permasalahan yang kompleks. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kegiatan ini, yaitu faktor individu, lingkungan , dan sosial budaya. Faktor individu inilah yang ramai menjadi penyebabnya, terutama yang berkaitan dengan depresi, bahkan terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa depresi sangat berpengaruh terhadap terjadinya kejadian bunuh diri ini. Akan tetapi, depresi bukan merupakan penyebab pasti seseorang untuk melakukan bunuh diri, tidak semua korban bunuh diri mengalami depresi dan tidak semua orang yang depresi akan melakukan bunuh diri. Adanya perasaan hopeless, perpisahan dan kehilangan, juga tidak adanya support system ketika terjadi permasalahan juga memiliki hubungan dengan kejadian bunuh diri ini.
Penyebab kejadian bunuh diri di Indonesia tidak lepas dari mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, terkhusus masyarakat daerah Gunung Kidul. Masyarakat Gunung Kidul memiliki mitos yang disebut dengan Pulung Gantung. Masyarakat sekitar percaya bahwa jika pulung gantung mengarah dan jatuh di sebuah desa, maka tidak lama dari kejadian tersebut akan ada orang yang meninggal dengan gantung diri. Kembali lagi, ini hanyalah mitos yang tidak dapat dibuktikan kenyataannya.Â
Berbicara mengenai kenyataan, pastilah tidak lepas dari data. Data yang dikeluarkan oleh WHO, bunuh diri merupakan penyebab kematian ke-4 di dunia. Dimana pada tahun 2019 jumlah kematian yang disebabkan oleh bunuh diri mencapai lebih dari 150 ribu. Dari 150 ribu korban tersebut, 100 ribu kematian nya disumbangkan oleh korban dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan ini mengartikan bahwa korban bunuh diri lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. WHO juga menyebutkan bahwa jumlah kematian laki-laki yang disebabkan oleh bunuh diri pada rentang usia 15 - 29 tahun adalah 20 ribu jiwa. Dari data yang dikeluarkan oleh WHO tingkat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2019 untuk semua umur adalah 1,1 per 100 ribu jiwa, artinya ada 1 atau 2 orang meninggal karena bunuh diri di tiap 100 ribu jiwa. Sayangnya, terdapat tren meningkat terkait bunuh diri di Indonesia terutama pada tahun 2022.
Terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2021 ke tahun 2022. Jumlah kejadian kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2022 meningkat sebanyak 17,5 kali lipat dibandingkan tahun 2021. Melonjaknya kejadian bunuh diri ini bertepatan dengan mulai berkurangnya kasus Covid-19 di Indonesia. Bukannya berkurang, di tahun 2023 kasus kejadian bunuh diri ini semakin meningkat. Diawali dengan Januari yang terdapat 657 hingga bulan Oktober ini telah mencapai 1397 kasus kejadian bunuh diri. Melihat kasus kejadian bunuh diri terus terjadi dan meningkat di Indonesia, keadaan sosial masyarakat saat ini perlu lebih diperhatikan. Kejadian bunuh diri ini merupakan indikasi bahwa ada yang salah pada keadaan lingkungan sosial masyarakat. Terutama pada provinsi-provinsi yang menjadi 'penyumbang' kejadian terbanyak.
Lima provinsi yang menduduki penyumbang kasus kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia berada di Pulau Jawa, yaitu provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan DKI Jakarta. 4 dari 5 provinsi tersebut (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta) secara konsisten mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada Bulan September 2023. Tidak hanya itu, kelima provinsi tersebut juga konsisten memperlihatkan tren yang meningkat terkait kejadian ini. Perhatian terkait kejadian ini dapat difokuskan kepada provinsi-provinsi diatas, terutama pada Provinsi Jawa Tengah. Di bulan Oktober tahun 2023, kasus kejadian bunuh diri di Jawa Tengah mencapai 553, meskipun puncak jumlah kejadiannya ada di bulan September 2023 yakni hingga 568. Dengan ini, Jawa Tengah menjadi penyumbang 40,6% kejadian dari jumlah kasus kejadian bunuh diri di Indonesia pada bulan Oktober 2023. Angka tersebut merupakan angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, Jawa Timur (11,3%), Jawa Barat (6,5%), Bali (5,1%), dan DKI Jakarta (5,4%).
Dengan grafik diatas, terlihat bahwa kejadian kasus bunuh diri di Jawa Tengah di tahun 2023 ini berubah secara signifikan. Di bulan yang sama yaitu pada bulan Oktober, kejadian di tahun 2022 hanya 39 kasus, sedangkan di tahun 2023 meningkat sebesar 14 kali lipat. Tentu ini menjadi kewaspadaan kita bersama, kita harus aware terhadap teman dan lingkungan sekitar kita untuk dapat menghindari terus melonjaknya kejadian ini. Â Â Â Â Â Â
Kasus kejadian bunuh diri ini rentan terhadap kaum muda mudi yang sedang berada di usia awal dewasa, disaat mereka menjalani quarter life crisis. Usia seseorang yang menjalani quarter life crisis ini dalam rentang 18 - 30 tahun. Dalam rentang 2 bulan terakhir (oktober - november) kabar mengenai bunuh diri dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang sedang berusia di rentang 19 hingga 26 tahun. Kejadian ini terungkit karena mereka melakukan bunuh diri di tempat umum akhirnya menjadi viral dan diberitakan oleh media sosial ataupun media massa. 3 dari 7 kasus yang diberitakan berada di wilayah Jawa Tengah, dimana ketiganya merupakan seorang perempuan. 2 dari 7 kasus menghabisi nyawanya sendiri dengan gantung diri dan 2 yang lain dengan melompat dari ketinggian. Tidak sedikit dari mereka meninggalkan pesan tertulis untuk orang-orang yang mereka sayangi. Mengurangi kejadian ini tentu tidak lepas dengan saling perhatian dan menyadari setiap permasalahan yang sedang dihadapi oleh teman atau anggota keluarga di sekitar kita. Sedikit banyak ketika kita mendengarkan cerita mereka yang sedang menghadapi permasalahan pasti akan mengurangi beban mereka yang diharapkan dengan ini mereka tidak merasa kehilangan seorang 'sosok pendengar'. Pergi untuk melakukan terapi ke psikolog atau ke psikiater juga merupakan hal yang wajar dan patut kita normalisasi karena mereka yang ke psikolog atau psikiater bukanlah 'orang gila', melainkan mereka menyadari bahwa mereka sakit dan memiliki keinginan untuk sembuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H