James Hilton, penulis Inggris, menggambarkan Shangri-La sebagai "lembah terpencil yang dikelilingi tebing-tebing gunung tinggi dunia" dalam novelnya "the Lost Horizon" (1933). Tempat itu imajiner, meski akan mengingatkan kita pada lembah-lembah di Nepal dan Tibet.
Tak jauh dari Jakarta atau sekitar 1,5 jam dari Kota Bogor, gambaran ini bisa kita temui di salah satu lembah antara tebing-tebing Gunung Salak. Lokasinya memang tidak se-terpencil gambaran novel, dimana penduduknya tidak pernah menua. Sungguh dekat dengan gambaran "surga", meskipun, tentu saja "surga ini" ada dalam bayangan pengarangnya.
Titik ini merupakan titik pandang terbuka ke arah tebing dengan tinggi sekitar 200 meter. Tirai air tipis dari puncak tebing menjadi dua aliran berwarna putih susu berakhir di  kolam-kolam kecil di ujungnya, dan menukik kembali menuju aliran sungai di bawah tebing berikutnya.
Tirai air ini juga terdapat di tebing-tebing lain di sekeliling curug utama.
Setelah berjalan kaki sekitar 40 menit dari bumi perkemahan "Suaka Elang" (Desa Pasir Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor) menyusuri "lorong" susunan batu, melewati tanjakan turunan dan menyusuri pinggiran tebing di bawah kanopi hutan, tiba di titik ini ibarat "hadiah kecil yang manis" (25/5/17).
Kami sempat memanjat sedikit untuk melihat aliran air terjun di tebing kanan (dari arah jembatan).
Pantas saja, pihak pengelola mengingatkan dalam pengumuman di poskonya bahwa paling lambat untuk turun dari air terjun ini adalah pukul 16.30 dan ketika puncak Gunung Salak terdeteksi hujan deras. Â Kawasan ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Salak Halimun, yang ditetapkan pada tahun 2003 dengan luas 113.357 hektar.
Kalau ke air terjun, idealnya pagi hari, sehingga ada waktu untuk menikmati pemandangan dan bermain air.