Rencana makan siang di Jasinga mendadak buyar ketika angkot yang Bimo dan saya tumpangi  melewati Plang Situs bertuliskan "Situs Makam Raja-Raja Islam (Garisul)" awal April 2018 lalu. Komplek pemakaman ini terletak di Kampung Garisul, Desa Kalong Sawah, Kecamatan Jasinga. Plang itu terletak di tepi jalan antara Leuwiliang -- Jasinga. Kedua Kecamatan di Kabupaten Bogor ini berjarak sekitar 30 kilometer satu sama lain atau hampir 60 kilometer dari Kota Bogor.
Menuju komplek pemakaman ini, kami berhenti sejenak di Sungai Cidurian. Sungai ini sesungguhnya amat cantik. Namun kami urung mengambil foto, setelah tak sengaja melihat seseorang lelaki menurunkan celananya berjongkok di aliran air siap buang hajat. Belum lagi sampah plastik yang bertebaran memenuhi sisi sungai. Duhh....ini sungai atau TPA dan MCK?
Kami menyusuri jalan kampung di sisi sungai hingga tiba di Musholla dan ada tangga semen menuju ke atas. "Lurus saja ikuti tangga itu, nanti Ibu menyusul" tiba-tiba seorang Ibu berumur sekitar 60 tahun menyapa kami dari depan rumahnya. Belakangan kami ketahui ibu itu bernama Neneng. Beliau menjaga komplek makam ini sejak tahun 2000 menggantikan ayahnya.
Selimut lumut di hamparan nisan kuno yang menempati kawasan seluas 5 hektar ini menambah kesan tua, kuno dan misterius. Keteduhan pohon menghalangi terik matahari, namun tak menghalangi serbuan nyamuk kebun yang cukup ganas.
"Lurus saja itu komplek makam yang sering orang datangi" Ibu Neneng yang tau-tau muncul lengkap dengan sapu lidi di tangan membuat kami terlompat kaget. Ia menunjuk bangunan bertiang putih tak berdinding di ujung makam yang berbatasan dengan sawah.
Ada 9 makam di bawah bangunan bercungkup ini. Nisannya berbeda bentuk dengan kebanyakan nisan di luar cungkup. 7 nisan berbentuk bulat, sedikit mengingatkan akan bentuk gada. Sedangkan 2 nisan lainnya di dekat pintu masuk bangunan, berbentuk pipih.Menurut literatur, nisan berbentuk pipih menandakan makam perempuan. Sedangkan nisan bulat dengan bentuk seperti kubah, menandakan makam laki-laki.
Tumpukan booklet Surah Yasin menandakan tempat ini menjadi lokasi para peziarah. Konon ramai peziarah di Bulan Maulid. Setelah membacakan Surah Yasin untuk arwah para penghuni makam, mulailah kami menjelajahi lokasi ini. Suara kosrekan sapu lidi Ibu Neneng menyapu daun-daun kering memecahkan keheningan makam. Ah...syukurlah ada beliau.
Dengan pengetahuan nyaris nol tentang arkeologi Islam, kami sangat berterimakasih pada Kang Hendra Astari dari Komunitas Napaktilas Peninggalan Budaya yang mengarahkan untuk mencari tesis penelitian Muhammad Thoha Idris di Program Studi Arkeologi UI tahun 1995 (23 tahun yang lalu!) dan Reyhan Biadilla dari Komunitas Ngopi Jakarta (NgoJak) yang meminjamkan buku "Penelitian Arkeologi Islam" karangan Dr.H.Uka Tjandrasasmita.
Tanpa pegangan literatur yang mumpuni, pertanyaan-pertanyaan tentang narasi sebuah lokasi ini ibarat kalimat retoris alias buntu.
Penjelajahan kami saat itu hanya mengamati aneka bentuk nisan, sesekali mengukur dan berjalan mengelilingi kawasan. Di ujung makam, di dekat hutan bambu terdapat komplek makam yang lebih baru, bahkan ada makam yang masih basah dengan taburan bunga.