Awal April lalu,Indra Muliawan, teman di Facebook mencolek saya pada foto yang dibagikan oleh Deni Indianto di Mojokerto, Jawa Timur (8/4/17). Di foto itu tampak pekerja sedang menaikkan potongan batu bata ke atas truk. Yang bikin miris adalah batu bata itu diduga bagian dari peninggalan kuno Kerajaan Majapahit yaitu Situs Kumitir di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Dalam hitungan jam, sebuah foto muncul di bagian komentar, menunjukkan kalau situs tersebut sudah ‘bersih’ alias hilang.
Padahal Kawasan Trowulan ini sudah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional pada tahun 2013. Luasnya mencapai 92.6 kilometer, membentang dari Sungai Ngonto di sisi utara dan di sisi selatan batas hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan Jombang Desa Pakis dan Tanggalrejo, serta Sungai Gunting di sisi barat dan sungai Brangkal di sisi timur (Kompas, 10/4/17 hal 11)
Penjarahan di situs Trowulan ternyata sudah berlangsung bertahun-tahun. Tak jarang bata kuno itu diambil dan ditumbuk kembali menjadi bahan baku semen merah (Kompas, 11/4/17). Kalau masih bentuknya bata kuno, yang panjangnya 34 cm dan lebar 22 cm, dari info yang beredar, harganya Rp 3000/buah.
Ini kabar baiknya: Postingan Deni Indianto itu mendapatkan 337 reaksi dan dibagikan 731 kaliserta puluhan komentar. Artinya, masih cukup banyak yang peduli. Sehari setelahnya, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur segera mengusut. Ini berarti, postingan dan gerakan masyarakat lewat Facebook ini juga mendorong aparat bertindak cepat.
Yang juga sangat menggembirakan adalah 4 hari dari postingan tersebut (12/4/17), Kompas memberitakan bahwa sekitar 250 meter dari situs yang hilang tersebut, ditemukan struktur bata bangunan kuno. Kali ini kita berharap agar penemuan ini bisa dilindungi dan diteliti.
Baru hati ini senang sebentar, hasil utak atik Mbah Google kembali bikin miris. Dari berita tahun 2011, jumlah arkeolog di Indonesia hanya sekitar 100 orang!. Sedangkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang berwenang menggali dan meneliti situs-situs di Tanah Air (Majalah Arkeologi Indonesia, 2011).
Saya bukan arkeolog. Baru tertarik pada situs sejak awal tahun 2017 ini. Tapi membaca berbagai temuan arkeologi di Indonesia, tak berlebihan untuk mengatakan bahwa Indonesia mungkin adalah salah satu surga arkeologi di dunia. Kebudayaan bangsa ini sudah sangat tua, lengkap dari masa prasejarah hingga masa modern, tersebar di seluruh penjuru negeri. Sebagian besar mungkin belum ditemukan, belum selesai penelitiannya, terbengkalai atau malah sudah hilang dicuri/dirusak.
Bukan tidak mungkin, nantinya kita akan berdebat tentang sebuah kerajaan yang kita pikir adalah mitos. Padahal, bisa jadi kerajaan tersebut ada, tetapi bekas-bekas peninggalannya sudah hilang berpindah ke tangan-tangan pribadi di dalam dan luar negeri.
Mengapa belajar arkeologi?. Alasan utama untuk mempelajari arkeologi tentu saja menemukan sebanyak mungkin tentang bagaimana suatu masyarakat hidup dan berperilaku di masa lalu. Yang menarik adalah untuk mencari tahu “mengapa mereka berperilaku demikian?”.