Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Tahun, 1945. Pembukaan. Nah, masih pada ingat ga sama pembacaan pembukaan UUD 1945 waktu upacara bendera di masa-masa sekolah kita dulu? Tapi, saya ga akan ngebahas masalah Pembukaannya. Akan tetapi, saya akan fokus pada beberapa pasal di UUD 1945. Pasal tersebut adalah pasal 33 Ayat 2, dan Ayat 3. Pasal tersebut menyebutkan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara"; "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Hal yang menyangkut hidup orang banyak itu salah satunya adalah air. Oleh karena itu, sebagai salah satu daerah di Indonesia, DKI Jakarta membuat Perda nomor 13 Tahun 1992 yang mengatur kewajiban dan wewenang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM JAYA). Akan tetapi, kenyataannya pengelolaan dan penyaluran air di Jakarta oleh PAM Jaya mendapat campur tangan dua perusahaan swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT Lyonnaise Jaya (Palyja).Â
Mahkamah Agung (MA) telah memerintahkan penghentian kerjasama dengan swasta ini. Â Tapi, hingga sekarang tetap diabaikan dengan alasan perintah MA tersebut tidak memperhitungkan masalah kontrak yang telah disepakati perusahaan. Kontrak kerjasama dengan PT Aetra sendiri akan berakhir pada tahun 2023. Pihak PAM Jaya mengatakan, akan ada proses restrukturisasi di PD PAM Jaya sehingga sebagian besar pengelolaan air dari hulu ke hilir akan menjadi kewenangan PAM Jaya (mediaindonesia.com)
Momen dari tuntutan pengembalian wewenang penuh perusahaan pelat merah PAM Jaya dalam mengelola air mencapai puncaknya hari ini (22/3) bertepatan dengan Hari Air Sedunia. Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar aksi mandi bareng di balai kota DKI Jakarta. Mereka menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan PAM Jaya untuk segera melaksanakan penghentian pergantian kerjasama sesuai dengan putusan MA. Adanya perjanjian kerja sama PAM Jaya dengan perusahaan swasta dinilai tidak meningkatkan pelayanan dan pengelolaan air bersih dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas (Kompas.com). Akan tetapi, penandatanganan kontrak restrukturisasi ketiga perusahaan yang terkait ini ditunda. Gubernur Anies ingin kontrak yang akan ditandatangani dipelajari terlebih dahulu oleh tim TGUPP (Kompas.com).
Tuntutan kelompok masyarakat tersebut memang beralasan. Karena air sebagai salah satu sumber daya alam yang asasi dimiliki oleh masyarakat Indonesia seharusnya tidak bersangkutan dengan kepentingan swasta. Akan tetapi, dari sudut pandang perusahaan memang tidak serta merta perusahaan dapat menghapus atau membatalkan kontrak yang telah ada perjanjian tersendiri. Oleh karena itu, PAM Jaya secara perlahan-lahan mulai merampungkan restrukturisasi yang seharusnya ditandatangani gubernur Anies. Akan tetapi, Pak Anies masih perlu adanya tanggapan dari tim TGUPP.
Tentunya masyarakat seharusnya bisa menunggu toh? Faktanya, penyaluran air melalui PAM Jaya belum mencapai 40% rakyat Jakarta. Lalu 40% rakyat Jakarta ini harus menggunakan air apa lagi? selain air tanah. Di lain pihak, adanya pelarangan penggunaan air tanah oleh Pemprov DKI. Tentu saja hal ini menjadi buah simalakama bagi rakyat Jakarta. Di satu pihak, mereka menginginkan air bersih yang bisa mencapai seluruh kalangan. Akan tetapi, di pihak lain, ketersediaan dan penyaluran air belum maksimal. Ditambah lagi, dengan penundaan penandatanganan restrukturisasi PAM Jaya oleh Gubernur Anies, maka semakin lama penduduk Jakarta menunggu kepastian ketersediaan air bersih untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H