Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir bulan Mei 2024 lalu telah memuat pasal yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf q yang memberikan lebih banyak atau perluasan wewenang kepada Polri dalam melakukan pemblokiran atau pemutusan akses internet dan upaya dalam melakukan perlambatan akses ruang siber secara terbatas dengan alasan menjaga keamanan dalam negeri telah memicu kontroversi dan kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat. Hal ini telah menyebabkan banyak fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan yang serius mengenai kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan ancaman terhadap demokrasi di Indonesia untuk kedepannya.
Tanpa sistem pengawasan yang memadai, Polri bisa saja menyalahgunakan wewenang dalam pembatasan atau pemblokiran akses internet kepada masyarakat. Dalam sejarah, pembatasan akses internet seringkali digunakan oleh rezim otoriter untuk membungkam kritik, mengontrol narasi publik, dan melanggengkan kekuasaan. RUU Polri yang baru ini memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan "penyadapan" dan "pengambilan data" di dunia maya, yang berpotensi melanggar hak privasi warga negara. Padahal pada Pasal 31 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur tentang larangan intersepsi atau penyadapan yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain."
Pembatasan akses internet merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang cukup mendasar, seperti halnya hak atas kebebasan berekspresi, hak atas informasi, dan hak atas partisipasi politik. Selain itu, Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya. Selain itu, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia juga dilanggar oleh Indonesia sendiri yaitu dengan membatasi akses layanan internet. Hak atas kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa batas dilindungi oleh ICCPR.
Pada tahun 2016, Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah mengadopsi resolusi yang menggarisbawahi hak-hak atas kebebasan berekspresi berlaku baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Resolusi ini secara khusus mengecam keras praktik penutupan akses internet oleh pemerintah sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Resolusi PBB tersebut menekankan bahwa akses internet merupakan sarana penting bagi individu untuk menjalankan hak mereka atas kebebasan berekspresi, hak atas informasi, hak atas partisipasi politik, dan hak-hak lainnya. Oleh karena itulah, pembatasan akses internet hanya dapat dibenarkan dalam keadaan yang sangat terbatas dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Pembatasan akses internet hanya dapat dibenarkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan harus dilakukan secara proporsional, terbatas pada waktu, dan tidak diskriminatif. Namun, ketentuan dalam RUU Polri tidak memenuhi kriteria tersebut.
Di Indonesia sendiri, pemblokiran internet pernah dilakukan pada tahun 2019 saat terjadi kerusuhan di Papua. Pemblokiran tersebut menuai kritik karena dianggap membatasi akses informasi dan menghambat kerja jurnalis. RUU Polri yang baru ini juga berpotensi melanggar hak privasi warga negara yang sebagaimana dijamin oleh Pasal 28G UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pemberian wewenang yang lebih besar kepada Polri, tanpa adanya reformasi internal yang signifikan juga menimbulkan kekhawatiran. Rekam jejak Polri dalam hal penegakan hukum dan HAM masih dipertanyakan oleh publik. Banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan anggota Polri, mulai dari kekerasan berlebihan hingga penyiksaan cukup menyangkut anggota Polri sebagai oknum dalam isu-isu tersebut.
Jika RUU Polri ini tetap disahkan, seharusnya juga perlu adanya mekanisme pengawasan yang ketat dan independen terhadap pelaksanaan kewenangan pembatasan internet dan upaya perlambatan ruang akses siber oleh Polri. Selain itu juga Polri harus bertanggung jawab secara transparan kepada masyarakat atas kebijakan pembatasan akses layanan publik yaitu internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H