[caption id="attachment_319403" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi partai politik peserta pemilihan umum 2014"][/caption]
Bismillah,
Hari ini 9 April 2014, pemilihan legislatif untuk memilih parlemen termasuk DPR pusat, DPR daerah, dan DPD. Analisa "awam" dan data-data ini saya ambil dari beberapa sumber berita dan lembaga quick count.
Meskipun pesta demokrasi, tetapi angka golput (golongan putih) alias pemilih yang tak memilih karena suatu hal cenderung meningkat dari pileg sebelumnya yaitu 2009. Kini 2014, angka golput mencapai rekor tertinggi yaitu sekitar 24% dan terbanyak dari Jawa Timur dan Sumatera serta DKI Jakarta juga beberapa daerah lain yang tidak terlalu signifikan jumlah golputnya. Angka tersebut didapat dari beberapa lembaga quick count dan angka resmi menunggu dari KPU. Kebanyakan dari mereka yang golput adalah karena faktor "merantau" di daerah lain, tidak mengetahui cara pendaftaran "A5", hingga kekecewaan terhadap janji-janji politik, semua itu bisa saja.
Intro
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia memang mengherankan mengapa perolehan suara partai Islam cenderung kecil maupun cenderung stagnan dari pemilu sebelumnya. Bila melihat sejarah dari masa orde lama dimana pemilu pertama kali dilaksanakan, partai Islam selalu dibawah partai nasionalis (bahkan waktu itu dibawah partai sosialis perolehan suaranya). Maksud partai nasionalis dengan partai religius adalah ideologi partai yang diusungnya, tertuang dalam AD/ART-nya, dimana partai nasionalis tidak memasukkan unsur-unsur agamis kedalam ideologinya meskipun sekarang banyak partai yang mengklaim sebagai partai nasionalis-religius, salah satu alternatif untuk menjaring pemilih konservatif agamis. Meskipun tetap ideologi itu adalah Pancasila, mutlak dan tidak bisa ditawar lagi.
Jualan
Nilai jual suatu parpol berperan penting dalam perolehan suara bahkan bila ini terus dipelihara maka tak mungkin bisa membeli kepercayaan pemilih untuk waktu yang panjang (seperti orde baru maupun pemilu 2004 & 2009). Nilai jual yang paling utama dari parpol adalah figur capres yang diusungnya, ideologi parpolnya, kedekatan & elektabilitas (tingkat kepopuleran) di masyarakat, sasaran pemilih, dan yang terakhir adalah media dan pencitraan.
Dalam sistem keparpolan Indonesia terdapat 2 pengelompokkan parpol, yaitu yang beraliran nasionalis dan agamis yaitu parpol Islam. Parpol nasionalis cenderung memiliki basis massa yang hampir merata di seluruh Indonesia (termasuk luar pulau Jawa) dan luar negeri sedangkan partai Islam cenderung memiliki basis massa yang cenderung konservatif seperti di pondok pesantren, majelis, perkumpulan & organisasi berbasis agama, yang tingkat sebarannya mayoritas hanya terpusat di pulau Jawa, sebagian pulau Sumatera dan beberapa luar Pulau Jawa. Ini salah satu kelemahan partai Islam yang beraliran agamis, pandangan agak terlalu konservatif, dan kurang bisa beradaptasi dengan dinamika politik di masyarakat.
Figur Capres dan Pendongkrak Suara
Pandangan masyarakat tentang pemilu adalah berbeda bagaikan bumi dan langit, bila pilpres adalah langitnya dan pileg adalah buminya. Diprediksi tingkat partisipasi pada pileg lebih rendah daripada pilpres. Ini karena pandangan masyarakat yang membedakan faktor parpol dengan faktor capres. Ibarat slogan, siapapun partainya yang penting itu presidennya, semacam itulah.
Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam Amandemen UUD 1945 dijelaskan bahwa kedudukan Presiden adalah sama tinggi dengan DPR/DPD/MPR serta badan/lembaga/mahkamah tinggi negara lainnya. Presiden bukan lagi Mandataris MPR karena MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara dan sistem negara ini masih belum ideal untuk dikatakan sebagai sistem Presidential karena DPR masih mayoritas menentukkan jalan/tidaknya program yang diajukan pemerintah. Sehingga Capres dan parpol adalah berbanding lurus perbandingannya bukan perbandingan tegak lurus seperti pandangan masyarakat.
Kini dari beberapa capres yang diusung oleh beberapa parpol Islam, tidak ada yang menarik perhatian masyarakat yang dinamis ini. Sehingga cara terbaik untuk mendongkrak perolehan suara adalah menggunakan figur artis sebagai caleg maupun memanfaatkan jabatan pemerintahan untuk mensukseskan tingkat elektabilitas parpol dengan kebijakan populer, asal nampang di media dulu. Untuk hal ini hanya beberapa parpol Islam yang bisa dibilang sukses, antara lain PKB dan PAN.
PKB tertolong berkat kemampuan Ketumnya, khususnya dalam bidang keburuhan dan TKI, prestasi dong. Juga karena faktor "GusDur". PAN pun demikian, tertolong karena figur Ketumnya dalam bidang perekonomian tetapi faktor ini lebih kecil karena PAN tertolong oleh figur partai saat transisi ke reformasi pada 98/99 lalu.
Memang partai Islam tidak sepopulis partai nasionalis, lalu bagaimana dengan partai Islam lainnya? Kebanyakan dari mereka mengandalkan metode tradisional yaitu dari majelis, ponpes, organisasi dan perkumpulan agama. Tentunya hasil ini tidak signifikan dibanding partai Islam lain. Maka dengan metode ini, selain PKB yang survive, PKS dan PPP bisa survive dengan metoda ini salah satunya. Sayangnya entah karena sistem parpolnya ataukah faktor statis pada parpol Islam yang cenderung kurang responsif terhadap keadaan dinamika politik masyarakat.
Klimaks dan Poros Tengah
Poros tengah merupakan suatu "koalisi tak resmi" di parlemen (MPR/DPR) karena "mungkin" kesamaan faktor jumlah kursi yang didapat. Kebanyakan poros tengah diisi oleh parpol Islam dan parpol nasionalis yang menjadi minor dalam perolehan suara parlemen. Bila di awal-awal orde reformasi, PAN dan PKB cenderung memiliki pengaruh yang cukup tinggi di poros tengah, beberapa tahun belakangan pengaruhnya mulai tergerus dan mulai diisi oleh parpol lain yang baru mulai berpengaruh seperti PKS dan Gerindra.
Kini seperti terulang kembali bahwa parpol Islam merasa nyaman menjadi poros tengah di parlemen. Bila saja parpol Islam berakrobat dalam menangkap dinamika politik masyarakat, perolehan suara bisa diatas 10% (hasil quick qount dan KPU nanti). Tetapi melihat perolehan pileg 2014, angka diatas 5% bagi parpol Islam adalah cukup baik dan bagus. Perolehan suara juga cukup merata pada semua parpol.
Prospek parpol Islam dan tentang "Islam"-nya menjadikan salah satu resistansi dalam memperoleh suara, melihat tingkat sosial masyarakat Islam yang masih banyak kurang memahami Islam itu sendiri, penurunan moralitas & sosial, dan faktor kemajemukkan agama, menjadikan "Islam" parpol Islam mengotakkan pada pemilih, roadmap Islam, prospek Islam, kebijakan Islam, padahal yang sebenarnya adalah Islam itu agama yang universal dalam artian Islam bukan untuk Islam dan Islam saja, tetapi untuk seluruh isi dunia.
Satu hal yang cukup menarik bagi parpol Islam adalah karena menganut ideologi agamis dalam tubuhnya sedangkan agama itu (Islam) adalah sempurna alias agama tak pernah salah dan keliru (setuju dong, agama diturunkan langsung oleh Tuhan, mempertanyakan agama berarti mempertanyakan Tuhan, menodai agama berarti menodai Tuhan) maka ini salah satu tantangan bagi parpol Islam yang dituntut untuk tidak melakukan kesalahan, penodaan, maupun KKN. Karena sekalinya parpol Islam melakukan kesalahan, pastinya tingkat kepercayaan dan elektabilitas akan sangat jauh jatuhnya ketimbang partai nasionalis. Itu salah satu resistansinya parpol Islam.
Menjadi Poros Tengah untuk beberapa tahun mendatang, sepertinya memang masih menjadi magnet parpol Islam untuk mencapai parlemen, setidaknya pemilu mendatang tidak ada presidential threshold. hmm menarik.
mohon maaf, bukan untuk menyudutkan, segala kekurangan dan kesalahan adalah murni pribadi, kebenaran dan lebihnya hanya untuk Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhannahu Wa Ta'alaa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H