“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”, ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan algojo penjara itu merasa lebih puas lagi ketika melihat titisan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
“Ah, seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat
pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang anak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid
semua. Anak comel itu melimpahkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa, . . . ? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi.”
Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tau apa yang harus dibuat. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tau arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi, abi, abi.” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.