Kami pribumi, yang tersudut karena kedatangan mereka. Tapi kami beri mereka ruang, karena, katanya, mereka generasi perubah. Yang akan membantu kami. Benarkah? Kami sangat berharap~
Dulu kota kami tak segersang ini, tak sepanas ini pula. Entahlah, mungkin karena pembangunan disana sini semua pohon kami hilang. Tergantikan bangunan yang tinggi – tinggi itu. Apa kata mereka? apartemen? Entah, kami tidak mengerti apa itu apartemen. Tapi, kami tak keberatan ini semua demi kenyamanan mereka, para penolong kami kelak.
Ada yang aneh, mereka berbeda – beda. Kami pikir, mereka semua, yang setiap pagi berjalan dengan gagah menuju gerbang itu adalah calon penolong kami. Tapi kami ragu, beberapa memang tersenyum ramah layaknya orang baik. Sayangnya, tak sedikit juga dari mereka yang bahkan seperti tak pernah melihat kami ada. Kami seperti tuan rumah yang tak terlihat oleh tamunya. Apakah kami harus tetap memberi kenyamanan pada mereka?
Beberapa hari yang lalu kami mendengar berita yang menghebohkan, mereka turun ke jalan, menuju kota besar yang panas dan lebih gersang lagi dari kota kami. Di siang hari yang panas, dengan jas – jas kebanggan mereka itu. Katanya, mereka meneriakkan nama- nama kami. Katanya, mereka sedang berjuang demi kesejahteraan kami. Kami terharu.
Kami tak mengerti bagaimana pembagian kerja diantara mereka, ketika sebagian dari mereka berpanas – panas di kota besar yang kami tak tahu dimana itu sebagian lainnya tetap berkegiatan seperti biasa. Apakah ini pembagian kerja mereka? ada yang harus tetap menjaga kami di kota kami, ada yang berjuang kesana menuju para pemimpin negeri ini. Apakah begitu? Tapi, kami mendengar bisikan lainnya. Mereka yang tidak ikut berpanas – panas itu pun tidak hanya berkegiatan seperti biasa. Sebagian lainnya melakukan banyak hal dibalik gerbang itu, katanya ada yang membuat kumpulan – kumpulan membicarakan satu dan dua hal, katanya itu kajian. Semacam diskusi, mengobrol lah yaa... kami juga sering melakukannya. Tapi, kata mereka ini berbeda, obrolan mereka lebih berisi, dengan teori yang guru – guru mereka ajarkan. Dengan ilmu yang mereka pahami. Jadi, perdebatan dalam setiap adu argumen yang akan terjadi bukan hanya bualan kosong dan menjadi debat kusir yang tak jelas. Tapi, kami tidak mengerti diskusi macam apa yang mereka lakukan di balik gerbang itu. Apakah membantu mereka yang juga turun ke jalan ke kota besar itu? kami ingin tahu, karena ini pun kan melibatkan kehidupan kami. Sayangnya, mereka jarang mengajak kami.
Hanya saja, kami masih merasa aneh. Setelah berita itu, semuanya kembali seperti biasa. Bahkan, kami pikir sebenarnya tak ada yang berbeda sedikitpun semenjak berit aitu kami dengar. Tak ada hal istimewa sedikitpun. Tak ada yang berubah dari kami. Tak ada pula yang berubah dari mereka. Mereka tetap sibuk keluar masuk gerbang itu dengan gagah, walau terkadang wajah – wajah lesu, malas, terlihat dari wajah mereka.
Beberapa dari mereka tetap masih menyapa ramah kami, ada yang hanya sapaan karena tuntutan kesopanan. Ada juga yang terkadang mengajak kami berbincang. Hal ini menyenangkan, mengenal mereka dan cara mereka berbicara, berpikir. Kami selalu memandang mereka dengan tatapan kagum, calon penyelamat kami. Yang entah kapan, akan menjadi benar – benar penyelamat kami. Dan, beberapa yang lainnya. Yang seakan tak melihat kehadiran kami. Mereka tetap seperti itu. Interaksi yang kami dan bagian mereka yang asing ini terjadi hanyalah interaksi dagang biasa. Tak lebih dan tak kurang.
Kota kami, semakin lama semakin penuh oleh mereka. Hingga terlintas dipikiran kami sebuah pertanyaan, ‘sebanyak inikah penolong kami?’ jika benar, ini akan melegakkan. Karena masih banyak orang – orang seperti kami, di kota – kota lain selain di kota kami. Kami mendengar di kota sebrang pun sama, ada bangunan besar dengan gerbang yang besar pula. Dan mereka, yang keluar masuk seperti yang terjadi di kota kami. Apakah itu bangunan yang sama? apa yang pernah kami dengar, bangunan pencetak pemimpin bangsa? Wow, keren sekali bukan.
Dari mereka, yang terkadang mengajak kami mengobrol, kami tahu itu adalah dunia dimana pendidikan akan membentuk anak kami menjadi pemimpin. Pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah – sekolah dengan siswanya yang memakai seragam yang ditentukan. Disana tidak ada seragam yang ditentukan. Karena semua orang yang masuk gerbang itu, adalah orang – orang dewasa yang sudah mengerti cara berpakaian yang baik. Apakah iya? Kami tak ingin mendebat, karena kami sadar diri dimana level kami. Hanya saja, beberapa dari mereka kami lihat tak seperti orang dewasa yang dapat menempatkan diri tentang cara berpakaian. Entahlah, kami tak mengerti.
Katanya lagi, kami ingat, ketika beberapa dari mereka yang terkadang mengajak kami mengobrol bilang, ‘bangunan itu adalah tempat orang – orang dewasa yang berpikiran kritis’ apa itu kritis? Kami tidak mengerti. Katanya, ‘kritis, adalah orang – orang yang berpikir. Yang akan berkata tidak pada hal yang dianggapnya salah. Yang akan bertanya kepada segala hal yang tak dimengertinya. Yang akan kembali belajar dan mencari tahu tentang segala hal yang ada dipikirannya. Mereka, biasanya bukan penurut” kami tidak mengerti, lalu apa baiknya menjadi orang yang tidak penurut? Yang selalu protes sana – sini? Bukankah itu bikini masalah, dijawabnya dengan nada yang bijak, katanya, ‘mereka protes bukan untuk bikin masalah. Tapi, mereka protes pada permasalahan. Pada para pembuat masalah. Sayangnya....” kami menunggunya melanjutkan omongannya, apa yang ia khawatirkan. Bukankah tadi ia bilang, mereka mencoba memperbaikin kesalahan. Mereka akan melawan orang – orang yang bersalah. “Kenapa?”
“Sayangnya, beberapa dari kami hanya bisa protes tanpa solusi yang tepat. Beberapa dari kami hanya kritis tanpa mau bergerak. Dan beberapa dari kami, sebenarnya seperti para pembuat masalah itu. Hanya omong kosong” kami tak percaya mendengarnya, mereka, tamu yang menempati kota kami, yang kami upayakan kenyamanannya, ternyata tak semua dari mereka kelak akan menjadi penolong kami.
Lalu, apa yang akan mereka lakukan setelah selesai dengan pendidikan di balik gerbang itu? apakah akan meninggalkan kami, dan kota yang telah menjadi gersang dan panas ini? lalu, kami hanya harus kembali menunggu seseorang yang dari gerbang itu menjadi benar – benar penolong kami?
Mereka yang terkadang mengajak kami mengobrol menceritakan hal lain tentang bangunan di balik gerbang itu, katanya “kami harus merubah sistem disana. Banyak masalah yang orang – orang sana buat. Mereka pikir bangunan itu sebagai mesin pencetak sarjana. Seharusnya bukan, kami tidak di cetak. Karena, jika iya, kami hanya akan berbentuk sama dengan para pembuat masalah itu, dan mengisi ruang – ruang di dunia ini dengan sistem mereka yang cocok dengan bentuk cetakan kami masing – masing” kami tercengang, selama ini kami berpikir bangunan di balik gerbang itu memang pencetak. Tapi, pencetak pemimpin. “Jika memang menjadi pemimpin, berarti hanya pemimpin dengan cetakan yang sama dengan pemimpin – pemimpin sebelumnya. Apa yang lebih baik?” sahutnya. Kami terdiam, benar juga, pikir kami. Jika seperti itu, tak akan ada perubahan apapun pada kami.
“Lalu kalian akan bagaimana?” tanya kami. Mereka, yang terkadang mengajak kami mengobrol itu hanya diam. Wajahnya bingung. “Kami masih berusaha. Dengan penyadaran yang kami lakukan. Hanya saja, kami takut. Kami merasa besar kepala karena merasa kami paling sadar. Kami merasa, penyadaran yang kami lakukan akan menuju pembebasan kesadaran yang akan merubah kami. Untuk menjadi apa yang kalian inginkan, menjadi generasi perubah” kami kembali terdiam, tak begitu mengerti dengan ucapannya. Apa itu penyadaran? Apa itu pembebasan? memangnya kita masih dalam zaman penjajahan?
“Pembebasan yang kami lakukan, adalah untuk menyadarkan teman – teman seperjuangan kami. Bahwa kami harus melawan sistem pencetak ini. Namun sulit, karena teman – teman seperjuangan kami pun orang – orang yang berpikir, kritis dan dewasa. Beberapa dari mereka telah menemukan jalannya sendiri untuk melakukan perubahan. Dan itu berbeda dengan kami. Beberapa yang lainnya mengatakan, kami terlalu mengawang” mereka, yang terkadang mampir untuk mengajak kami mengobrol terus mengeluhkan keadaan mereka. Kami hanya bisa mendengarkan. Ini membuat kami berpikir, perubahan terlalu berat jika kami hanya menumpuknya di pundak pemuda – pemuda ini. Perubahan adalah sesuatu yang harus dilakukan bersama. Kami pun harus melakukannya, karena ini tentang kami, kesejahteraan kami. Juga kesejahteraan mereka. Karena, sejahtera bukan hanya tentang uang dan hidup enak. Tapi merasa bahagia dengan usaha dalam membuat hidup lebih baik.
Itu saja, segini dulu dari kami. Pribumi, rakyat yang sebenarnya sama dengan mereka. kami berjuang bersama demi hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H