Mohon tunggu...
Dini Nurilah
Dini Nurilah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya seorang pelancong, yang terlalu bosan dengan kesemrawutan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agak Absurd, mungkin ini tentang Batu Nisan dan Angin

9 November 2014   14:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:15 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis itu kembali, dengan raut wajah yang tetap sama. Gadis itu menatapku dalam, dengan tatapan yang tetap sama. Seperti sore kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Kepedihan di matanya, aku tak sanggup lagi melihatnya. Tapi, apa dayaku. Aku hanya seonggok batu yang bahkan tidak bisa memalingkan wajah untuk menghindari tatapan sedih itu. Aku selalu bertanya pada Dia yang tidak kukenal, pada Dia yang mereka selalu puji – puji, kepada Dia yang membawa pergi pasangan hati si gadis itu. Aku bertanya, “Kenapa Kau mengambilnya dari gadis itu? Dan membawanya padaku, aku tidak suka melihatnya, tatapan penuh luka dan kesedihan itu. Aku muak melihatnya”

Selepas gadis itu pergi, angin membisikkan kisahnya, kisah yang ia temui di perjalanannya. Kisah tentang gadis itu.

“Adakah hal yang menarik? Kuyakin, itu hanya kisah tentang cinta dan perpisahan. Semua manusia sama, terlalu lemah hanya karena perpisahan” angin masih menari – nari disekelilingku, tapi dia tidak tersenyum seperti biasa. Aku sudah tau, hanya kisah luka yang dapat menghilangkan keceriaannya.

“Oh, betapa menyedihkannya dirimu, terombang – ambing kesana kemari, dan harus melihat semua kisah yang tak ingin kau lihat. Mengapa tidak kau berdiam diri saja, hey angin” bisikku, dengan nada mengejek.

“Aku mensyukurinya” ucapnya dengan lembut, dengan wajah sendu itu. Aku tersenyum, ia selalu berkata itu dengan wajah sendunya setiap kali kisah yang ia temui menyedihkan. Aku tidak mengerti kesabarannya.

“Aku yang tak mengerti kesabaranmu, banyak kisah kulihat, dan engkau, hanya linangan air mata dan isak tangis yang kau temui. Karena itulah, aku mensyukurinya. Untuk tidak menjadi dirimu” kata – katanya yang lembut itu menusukku, menyadarkanku. Ia berlalu, membelaiku lembut dengan senyuman sendu itu sebelum meninggalkanku termenung sendiri.

Sore itu, setelah gadis itu kembali datang dan pergi tanpa kata seperti biasa. Angin kembali menari – nari disekelilingku. Ia masih belum tersenyum ceria.

“Mengapa harus engkau juga yang bersedih?” tanyaku, “Tidak cukupkah gadis itu saja yang membuat suram sore – soreku?” lanjutku, merajuk padanya yang masih saja bersedih. Ia membelaiku lembut, dibisikinya kisah itu, aku hanya diam. Aku tahu, kesedihannya akan sirna jika ia telah membagi kisahnya.

-

“Dia yang seharusnya disana. Di dalam tanah itu. Dia yang seharusnya tiada” bisik angin dengan suara pilu. Aku masih terdiam, mencoba menjadi pendengar yang baik. Walaupun sebenarnya, aku tak berminat sama sekali dengan kisah yang akan kudengar.

Lalu kenapa jika memang seharusnya gadis ini yang tiada? Keadaan akan sama saja, sore – soreku masih akan suram, karena yang akan datang adalah pasangannya yang lain. Menangisi kepergian gadis cantik itu, dan membayangkannya saja lebih memuakkan. Melihat lelaki dengan mata berkaca – kaca atau bahkan banjir air mata setiap sore. Itu menyebalkan~

“Kesedihan seseorang bukan hal yang menyebalkan. Ia luka yang tak seharusnya kau maki. Apa kuasa mereka menolak rasa sakit itu? tidak ada. Benar, mereka makhluk yang lemah. Tapi aku kagum, mereka tidak menyerah dengan kelemahannya itu. Mereka tetap berjuang untuk bertahan hidup di dunia yang tambah tidak rasional ini, walau banyak cara yang mereka pakai sama tidak rasionalnya. Mereka masih tetap berjuang untuk bertahan sebagai manusia utuh, dengan cinta yang mereka kenal. Biarkan tangisan dan luka itu menemani mereka, karena itu jugalah yang membuat mereka tetap merasakan hidup dan menjadi manusia. Tidakkah kau iri dengan kerumitan yang indah itu?”

Aku tidak mengerti penjelasannya, apa yang harus kucemburui dari kehidupan yang merepotkan itu. Tidak bisakah berbahagia hanya dengan diam saja, hingga Dia yang tidak kukenal meniadakanku? Aku merasa nyaman dengan hal ini, tak perlu aku memikirkan kehidupan yang aneh ini. Angin hanya tersenyum tipis, aku tahu ia mendengar suaraku yang tak kuucap.

“Itu pilihanmu, juga takdirmu, Nisan” bisiknya sebelum berlalu menyapa saudara – saudara lainku. Kisah gadis itu ia biarkan bersambung, aku sama sekali tidak menunggu detailnya. Tapi, aku pun tak menolak jika esok angin akan bercerita lagi. Karena aku lebih menyukai kehadiran angin di sore – soreku, bukan kisah – kisah sedih manusia itu.

-

Hari itu angin tidak datang. Hanya ada gadis itu, dan wajah sedihnya. Ingin aku bertanya, “Kemana angin?” tapi, apakah ia akan tahu. Kupikir tidak. Kuurungkan niatku bertanya. Sebelum pergi, gadis cantik itu menaruh sesuatu di depanku. Diatas tanah yang kering itu. Bukan bunga. Sebuah buku. Ingin aku meneriakkannya, “Jangan menaruhnya disini. Tidak berguna. Ia hanya akan membusuk atau dibuang dengan sengaja oleh pembersih makam.” Dia sudah membusuk di dalam sini. Tidak bisakah kau membiarkannya tiada. Air mata dan kesedihan itu tiada guna. Jika memang benar apa yang dikatakan orang – orang tentang doa yang akan menenangkan si mati ini, lakukan itu. Haruskah dengan air mata dan kesedihan berbulan – bulan ini?

“Hormati prosesnya, kawan” bisik saudaraku. Aku tak menghiraukannya. Aku mengutuk Dia yang entah dimana itu. Mengapa hanya aku yang sinis pada manusia – manusia lemah ini. Perpisahan adalah resiko yang harus kau terima ketika kau bertemu dengan pertemuan. Kapanpun itu, selama apapun itu, semanis apapun itu, sepahit apapun itu. Jika kalian memulainya dengan pertemuan pasti akan ada akhir. Pasti akan ada perpisahan yang harus kalian temui. Lalu untuk apa kesedihan berkelanjutan ini? Ah, sudahlah, seperti kata angin, aku tak akan mengerti~

-

Sudah seminggu ini angin tak lagi datang. Kemana dia? Hanya saudara – saudaranya yang masih rajin menyapaku sebelum mereka pulang. “Kemana angin?” tanyaku. “Kami angin” jawab mereka, saudara – saudara angin yang kukenal. “Aku tak tahu kalian memiliki nama lain atau tidak. Tapi, aku bertanya tentang angin yang kukenal.” Ucapku. Saudara – saudara angin seperti angin yang kukenal. Mereka pun suka tersenyum dan berbisik lembut sambil mengitariku. Tapi, tak ada yang seperti angin yang kukenal. Yang mengerti aku.

“Dia diberi tugas ke tempat yang jauh. Mungkin tak akan kembali kesini” bisik salah satu dari mereka. “Kemana? Kenapa tidak akan kembali?” mereka beranjak pergi, aku takut mereka tidak memberikanku kejelasan dimana keberadaan angin yang kukenal.

“Katanya, dia ingin kau mengenal luka karena perpisahan, sayang” mereka meninggalkaku dengan wajah simpatik. Aku terdiam. Iya, aku hanya bisa terdiam. Aku hanya batu. Baru kini aku menyadarinya, aku hanyalah batu. Aku tak dapat merasakan apapun. Ini menyedihkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun